BIOGRAFI IMAM AL GHAZALI
A.
Latar Belakang Kehidupan Imam Al Ghazali
Zainuddin
Hujjatul Islam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad at-Thusi al-Ghazali
adalah nama lengkap dari imam al-Ghazali. Ia lahir di Thus, Khurasan, suau
tempat kira-kira sepuluh mil dari Naisabur, Persia. Tepatnya lahir pada tahun
450 Hijriyah. Wafatnya pun di negeri kelahiran tersebut, pada tahun 505
Hijriyah. Masa muda al-Ghazali dihabiskan untuk menuntut dan memperdalam ilmu
pengetahuan, sehingga menjadi seorang pemuda yang penuh dengan berbagai ilmu
pengetahuan, senang berdiskusi, berdebat, dan membela paham keislaman dengan
penuh logika(mantik) dan filsafat. Dalam masa pencarian ilmu pengetahuan,
al-Ghazali pernah berguru kepada Imam Haramain di Naisabur, Persia. Imam Haramain (nama lengkap Abdul Muluk
al-Jwaini) adalah seorang ulama yang dilahirkan di Naisabur, Persia pada tahun
419 H. yang belajar ilmu Fiqh di Makkah. Setelah pandai kemudian dipanggil oleh
raja Persia, diminta untuk mengajar pada Madrasah “NIDHAMUL MULUK” di Naisabur.
Disanalah al-Ghazali belajar kepadanya. Imam Haramain adalah termasuk seorang
ulama yang banyak mempunyai karya tulis, yang karya tulisnya banyak dikenal
orang, terutama oleh mereka yang mengikuti faham Madzhab Syafi’i.
Ia telah
menerima dasar-dasar pokok dalam bidang studi bahasa arab dan ilmu Fiqh di
negerinya , kemudian pindah menuju Jurjan. Disanalah ia belajar pada seorang
ulama dalam bidang ilmu Ushul Fiqh. Selanjutnya al-Ghazali kembali ke Thus,
kemudian meneruskan menuju ke Nisyapur untuk berguru kepada Imam Haramain
al-Juwaini. Setelah itu ia pindah ke Iraq, dikala itu nama al-Ghazali telah
dikenal diseluruh penjuru. ia bertemu dengan Wazir Nizhamul Mulk yang kemudian
diserahi tugas mengajar sebagai guru besar pada Universitas Nizhamia di Baghdad
pada tahun 484 H, dan pada waktu itu pula beliau aktif menyusun beberapa buah
kitab selama empat tahun.[1]
Al-Ghazali
dengan semangat yang membara terpacu untuk membangun dunia intelektualisme
muslim, yang pada saat itu semakin jauh dari kebenaran. Kaum muslim saat itu
terbagi menjadi empat golongan yakni kaum teolog yang mengandalkan kekuatan
akal dibantu dengan wahyu, kaum filsuf yang mengandalkan kemampuan akal saja,
ahli kebatinan (penganut syi’ah Bathiniyah) yang sangat memuja-muja Imam
mereka, serta kaum sufi yang hanya mengandalkan kemampuan intuisi.[2] Keempat golongan tersebut masing-masing sangat eksklusif, mereka
menganggap golongannya lah yang paling benar tanpa perlu campur tangan bidang
lain. Karena itu al-Ghazali yang sejak kecil bergelut dengan ilmu berupaya
menyatukan pemikiran-pemikiran tersebut dengan tetap mempertimbangkan bidang
lain. Artinya, konsep pemikiran al-Ghazali tersebut mempertimbangkan akal
(andalan filsuf dan teolog) serta amal namun tetap dengan tujuan seperti halnya
sufi. Misalkan saja kepada ahli hakekat, al-Ghazali menyerukan untuk
mengindahkan ajaran-ajaran syari’ah, demikian pula kepada ahli syari’ah
diserukan untuk menyertakan pula aspek-aspek bathin dan keakheratan.
Menyikapi serangan
intelektual barat. Para filsuf yang hanya mengandalkan kekuatan akal sering
kali menyerang agama yang dianggap tidak rasional dan tipuan saja. Dominasi
pemikiran intelektual barat yang nampak rasional dan logis sering kali
mempengaruhi iman kaum muslimin, sehingga tiada jalan lain bagi al-Ghazali
untuk mengembalikan kepercayaan kaum muslimin selain berperang menurut sudut
pandang kaum filsuf. Menggunakan akal dan logika yang matang. Selama menjadi
orang kepercayaan pejabat semasa perdana mentri Nizam al-Muluk, ia banyak
menghadirkan diskusi-diskusi keilmuan disekitar istana.
sekitar tahun
488 H, al-Ghazali dilanda keragu-raguan, skeptis terhadap ilmu-ilmu yang
dipelajarinya (hukum,teologi, dan filsafat), kegunaan pekerjaannya dan
karya-karya yang dihasilkannya, sehingga ia menderita penyakit selama dua bulan
dan sulit untuk diobati. Karenanya ia tidak bisa menjalankan tugasnya sebagai
guru besar di Madrasah Nizhamiyyah. Akhirnya ia meninggalkan Baghdad
menuju kota Damaskus dan tinggal disana selama dua tahun. Dikota ini beliau
mulai berjihad melawan nafsu, mengubah akhlak, memperbaiki watak, dan menempa
hidupnya. al-Ghazali melawan setan kebodohan, tuntutan kepemimpinan dan
pangkat, serta kepura-puraan dengan akhlak mulia menuju ketenangan, mengenakan
pakaian orang-orang saleh, dan meninggalkan angan-angan panjang . Dari Damaskus
ia pergi ke Bait Al-Maqdis Palestina untuk melaksanakan ibadah haji dan
menziarahi makam Rasulullah SAW. Sepulang dari tanah suci, al-Ghazali
mengunjungi kota kelahirannya Thus dan disinilah ia tetap ber-khalwat, keadaan
skeptis al-Ghazali berlangsung selama sepuluh tahun. Pada periode inilah ia
menulis karya-karyanya yang terbesar Ihya’ ‘Ulumuddin. Karena desakan
penguasa Saljuk, al-Ghazali mengajar kembali di Madrasah Nizhamiyyah di Nisyabur selama dua tahun kemudian kembali
ke Thus. Sebagai orang besar beliau telah menduduki jabatan, kebesaran dan
kepemimpinan yang tinggi pada zamannya. Para mahasiswa dari penjuru dunia,
ulama dan penguasa menaruh hormat kepadanya.
Al-Ghazali
banyak mewakafkan harta bendanya demi memberi petunjuk kepada makhluk,
menyerukan kepada mereka agar mementingkan urusan akhirat, membenci dunia,
membimbing para pesuluk, bersiap-siap untuk berangkat kenegeri abadi, taat
kepada setiap orang yang melihat tanda atau mencium bau makrifat. Setelah
sekian lama al-Ghazali menghabiskan masa tua dengan kembali ke kampung
halamannya, tinggal dirumah dan banyak bertafakur, mengisi waktu dengan sesuatu
yang bermanfaat, dan menanamkan ketakutan kedalam qalbu.[3] Imam al-Ghazali mencapai kedudukan yang begitu tinggi dikalangan
para ilmuwan. Kenyataan ini bisa dibuktikan oleh para analis dari berbagai
agama dan generasi. Namanya menggema dari berbagai penjuru dunia. Untuk itulah
ia diberi gelar Hujjah Al-Islam dan permata agama (Zain Al-Din).
B. Filsafat Akhlak /
Etika Imam al-Ghazali
Tujuan dari
butir-butir nilai akhlaq yang dikemukakannya adalah sebagai sarana mencapai
ma’rifatullah (mengenal Allah SWT) dengan arti membuka hijab-hijab yang
membatasi diri manusia dengan Tuhannya, karena menurutnya akhlak sangat terkait
erat dengan filsafat ketuhanannya. Menurut al-Ghazali, akhlak adalah sifat yang
tertanam dalam jiwa yang menimbulkan perbuatan-perbuatan dan tindak-tanduk
dengan mudah dan gampang tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan. Menurutnya akhlak harus dimulai dengan
pengetahuan tentang jiwa, kekuatan dan sifat-sifatnya. Karena jiwa merupakan
sumber kebaikan, kebahagiaan, dan sebaliknya.
Al-Ghazali
membagi jiwa menjadi tiga bagian, yakni jiwa bernafsu (an nafs al bahimiyyah)
yang berasal dari materi, jiwa berani (an anafs as sabu’iyyah) dan jiwa
berfikir (an nafs an nathiqah) yang berasal dari ruh Tuhan yang tidak akan
hancur. Al-Ghazali juga membuat tabulasi kebaikan pokok, yang terdiri dari
empat hal, yaitu kebijaksanaan, keberanian, menjaga kesucian dan keadilan.
Empat hal ini merupakan jalan tengah dari ketiga jenis jiwa tadi. Untuk
mencapai jalan tengah ini, diperlukan akal yang berfungsi efektif bagi
terciptanya posisi tengah jiwa, berpikir
dan syari’at berfungsi efektif untuk terciptanya posisi tengah jiwa bernafsu
dan berani.
Akhlak
merupakan keseimbangan antara daya ilmu dan daya pengendalian amarah. Jalan
untuk mencapai akhlak ialah dengan naluri insani serta latihan-latihan. Latihan
ini dilakukan dengan amal-amal. Adapun tujuan dari akhlak luhur adalah menahan
diri dari mencintai dunia wujud dan mengalihkan kepada nikmatnya mencintai
Allah. Al-Ghazali berpendapat bahwa watak manusia pada dasarnya adalah seimbang
kemudian lingkungan dan pendidikanlah yang memperburuknya. Sebagaimana prinsip
Islam, al-Ghazali menganggap Tuhan sebagai pencipta yang berkuasa dan sangat
memelihara srta menjadi rahmatan lil ‘alamin. Untuk taqarrub pada Allah yang
terpenting adalah muqarabah dan muhasabah, adapun kesenangan menurut al-Ghazali
ada dua, yaitu kepuasan(ladzdzat) ketika mengetahui kebenaran sesuatu dan
kebahagiaan (sa’adah) ketika mengetahui kebenaran sumber dari segala
kebahagiaan itu sendiri (ma’rifatullah disertai musyahadah al qalb).
Seperti
dijelaskan sebelumnya, filsafat moral merupakan masalah pokok bagi al-Ghazali,
sentral filsafat menurutnya adalah etika. Pandangan tersebut merupakan dampak
dari kehidupan sufistiknya. Selain itu, faktor utama yang menyebabkan dirinya
memandang filsafat etika (moral) lebih utama daripada filsafat metafisika
karena etikalah yang menjadi dasar perubahan sosial. Bukanlah diskursus
metafisika yang rumit dan mendalam yang dapat membimbing manusia untuk meraih
keutamaan (kebahagiaan), melainkan aspek praktis atau moralitas (etika) yang
dapat melayani tujuan tersebut.
C. Pendidikan Dan Perkembangan Intelektual
Imam Al-Ghazali
yang menarik
dalam mengkaji sejarah hidup al-Ghazali adalah keinginan yang kuat untuk
mencari hakikat kebenaran tentang segala sesuatu. Penggambaran intelektual dan
spiritualnya berangkat dari ilmu kalam, fiqh, ushul fiqh, filsafat kemudian
akhirnya pada dunia tasawuf yang menurutnya sebagai satu-satunya jalan untuk
mencapai kebenaran yang tak tergoyahkan lagi.
Oleh Karena itu untuk memahami corak pemikirannya terkadang kita
mengalami kesulitan sebagaimana dinyatakan oleh Ahmad Hanafi: ”Pikiran-Pikiran
al-Ghazali telah mengalami perkembangan sepanjang hidupnya dan penuh
kegoncangan batin sehingga sukar diketahui kesatuan-kesatuan kejelasan corak
pemikirannya terhadap filsuf dan aliran-aliran aqidah pada masanya”. Pengembaraan
intelektual al-Ghazali dilanjutkan ke daerah Muaskar dan bergabung dengan para
intelektual disana dalam majelis seminar yang didirikan oleh Nizam al-Mulk.
D.
Karya-Karya Ilmiah Al-Ghazali
Al-Ghazali
adalah seorang pemikir Islam yang sangat produktif, umurnya yang tidak begitu
lama, yakni sekitar 55 tahun dia gunakan untu berjuang ditengah-tengah
masyarakat dan mengarang berbagai karya yang sangat terkenal di seluruh penjuru
dunia (Barat dan Timur), hingga para oreintalis Barat pun juga mengadopsi
pemikiran-pemikirannya.
Puluhan
karya ilmiah yang ditulisnya meliputi berbagai disiplin keilmuan,
mulai filsafat, politik, kalam, fiqih,
ushul fiqih, tafsir, tasawuf, pendidikan dan
lain sebagainya.
Menurut
Zaenal Abidin Ahmad, karangan-karangan al-Ghazali yang terkenal antara lain
adalah sebagai berikut:
1.
Kelompok
Filsafat dan Ilmu Kalam, meliputi :
a.
Maqashidul
Falasifah (isinya tentang soal-soal falsafah
menurut wajarnya, tanpa kecaman)
b.
Tahafutul
Falasifah (isinya tentang kecaman-kecaman hebat
terhadap ilmu filsafat)
c.
Al-Ma’arif
al-Aqliyah (isinya tentang asal usul ilmu yang
rasional. Apa hakekat dan tujuan yang dihasilkan)
2.
Bidang
Pembangunan Agama dan Akhlak
a.
Al-Munqidz
min al-Dhalal (Penyelamatan dari kesesatan)
b.
Ihya’
Ulum al-Din (Menghidupkan kembali kepada
ilmu-ilmu agama)
c.
Minhaj
al-Abidin (Jalan mengabdi diri kepada Allah)
d.
Mizan
al-Amal (Timbangan amal)
e.
Misykal
al-Anwar (Lampu yang bersinar banyak)
f.
Ayyuha
al-Walad (Hai anak-anakku)
g.
Kimiya’
Sa’adah (Kimia kebahagiaan)
h.
Al-Wajiz
(tentang Fikih)
i.
Al-Isbishad
fi al-I’tiqad (menyederhanakan keimanan)
j.
Al-Adab
fi al-Din (Adap sopan keagamaan)
k.
Al-Risatul
Laduniyah (Penyelidikan bisikan qalbu)
3.
Bidang
Politik
a.
Hujjah
al-Haq (pertahanan kebenaran)
b.
Mufassir
al-Khilaf (keterangan yang melenyapkan
perselisihan faham)
c.
Suluk
al-Sulthani (cara menjalankan pemerintahan atau
tentang politik)
d.
Al-Qishthas
al-Mustaqim (bimbingan yang benar)
e.
Al-Sir
al-Amin (rahasia-rahasia alam semesta)
f.
Fatihah
al-Ulum (pembuka pengetahuan)
g.
Al-Darajat
(tangga kebenaran)
h.
Al-Tibr
al-Masbuk fi Nashihat Mulk (nasehat-nasehat untuk
kepala negara)
i.
Bidayatul
Hidayah (permulaan petunjuk)
j.
Kanz
al-Qaun (kas golongan rakyat)
Namun
kalau menurut Badawi Thabanah, karya-karya al-Ghazali berjumlah 47 buah,
semuanya dapat digolongkan sebagai berikut:
1.
Kelompok
Filsafat dan Ilmu Kalam
a.
Maqashid
al-Falasifah (tujuan para filosof)
b.
Tahafut
al-Falasifah (Kekacauan para filosof)
c.
Al-Iqbishad
fi al-I’tiqad (Moderasi dalam akidah)
d.
Al-Munqidz
min al-Dhalal (Pembebas dari kesesatan)
e.
Al-Maqshad
al-Asna fi Ma’ani Asma’illah al-Husna (asli
nama-nama Tuhan)
f.
Faisal al-Tafriqah bain al-Islam wa
al-Zindiqah (perbedaan Islam dan Atheis)
g.
Al-Qisthas
al-Mustaqim (jalan untuk menetralisir perbedaan
pendapat)
h.
Al-Mustadzin
(penjelasan-penjelasan)
i.
Hujjah
al-Haq (argumen yang benar)
j.
Mufahil
al-Hilaf fi Ushul al-Din (pemisah perselisihan
dalam prinsip prinsip agama)
k.
Al-Muntaha
fi Ilmu al-Jidal (teori diskusi)
l.
Al-Madznan
bihi ‘ala Ghairi Ahlihi (persangkaan pada yang
bukan ahlinya)
m. Minhaq al-Nadzar (metodologi
logika)
n.
Asraru
Ilm al-Din (misteri ilmu agama)
o.
Al-Arbain
fi Ushul al-Din (40 masalah pokok agama)
p.
Iljam
al-Awwan fi Ilm al-Kalam (membentengi orang awam
dari ilmu kalam)
q.
Al-Qaul
al-Jamil fi Raddi ‘ala Man Ghayyar al-Injil (jawaban
jitu untuk menolak orang yang mengubah Injil)
r.
Mi’yar
al-Ilmu (kriteria ilmu)
s.
Al-Intishar
(rahasia-rahasia alam)
t.
Itsbat
al-Nadzr (pemantapan logika)
2.
Kelompok
Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh
a.
Al-Basith
(pembahasan yang mendalam)
b.
Al-Wasith
(perantara)
c.
Al-Wajiz
(surat-surat wasiat)
d.
Khulashah
al-Muktashar (intisari ringkasan karangan)
e.
Al-
Mankhul (adat kebiasaan)
f.
Syifa’
al-Alil fi al-Qiyas wa al-Ta’wil (tetapi yang
tepat qiyas dan ta’wil)
g.
Al-Dzariah
ila Makarim al-Syari’ah (jalan menuju kemuliaan
syari’ah)
3.
Kelompok
Ilmu Akhlak dan Tasawuf
a.
Ihya’
Ulum al-Din (menghidupkan kembali ilmu-ilmu
agama)
b.
Mizan
al-Amal (timbangan amal)
c.
Kimya’
al-Sa’adah (kimia kebahagiaan)
d.
Misykat
al-Anwar (relung-relung cahaya)
e.
Minhajul
Abidin (pedoman orang yang beribadah)
f.
Al-Durar
al-Fakhirah fi Kasyfi Ulum al-Akhirah (mutiara
penyingkap ilmu akhirat)
g.
Al-Anis
fi al-Wahdah (lembut-lembut dalam kesatuan)
h.
Al-Qurabah
ila Allah (pendekatan kepada Allah)
i.
Akhlak
al-Abrar wa Najat al-Asyrar (akhlak orang-orang
baik dan keselamatan dari akhlak buruk)
j.
Bidayah
al-Hidayah (langkah awal mencapai hidayah)
k.
Al-Mabadi
wa al-Ghayah (permulaan dan tinjauan akhir)
l.
Talbis
al-Iblis (tipu daya Iblis)
m.
Nashihat
al-Muluk (nasihat unuk para raja)
n.
Al-Ulum
al-Laduniyah (risalah ilmu ketuhanan)
o.
Al-Risalah
al-Qudsiyah (risalah suci)
p.
Al-Ma’khadz
(tempat pengambilan)
q.
Al-Amali
(kemuliaan)
4.
Kelompok
Ilmu Tafsir
a.
Yaqut
al-Ta’wil fi Tafsir al-Tanwir (metode takwil
dalam menafsirkan al-Qur’an)
Demikianlah
karir, karya ilmiah dan sepak terjang Abu Hamid al-Ghazali yang bagi hampir
setiap muslim di dunia ini sudah tidak asing lagi. Al-Ghazali sesungguhnya
bukan sekedar sufi, murabbi, dan ahli ilmu kalam. Lebih dari itu, beliau
adalah social reformer ‘pembaharu masyarakat secara luas. Gelombang
pembaharuannya sampai kini masih menghangat. Ahlussunnah wal Jama’ah,
golongan muslim terbesar di dunia, semuanya gandrung pada pemikiran dan mau’idhah
hasanah-nya[5].
[1]
Imam al-ghazali, Neraca Beramal, (jakarta: PT Rineka Cipta, 1995), hlm.
275
[3]
Imam al-Ghazali, mutiara ihya’ ulumuddin,
terj. Irwan kurniawan (Bandung: IKAPI, 2000). Hlm.10
2002), hlm.
141-144. Sebagai perbandingan juga bisa dilihat dalam Zainuddin, dkk., Seluk
Beluk
Pendidikan dari
al-Ghazali,
(Jakarta: Bumi Aksara, 1991), hlm. 19-21. Di dalam Ensiklopedi Islam
juga di sebutkan
bahwa karya-karya al-Ghazali antara lain: Ihya Ulumuddin, Al-Munqidz Minal
Dalal, Minhajul
Abidin, Bidayatul Hidayah, Ayyuhal Walad, Kaifiyatus Saadah, Tahafatul
Falasifah,
Muqasidul Falasifah, Al-Qitos Al-Mustaqim, lihat, Munawir Sadzali, dkk., Esiklopedi
Islam
Di Indonesia,
(Jakarta: Departemen Agama RI 1992/1993), hlm. 308.
sebagai
Paradigma Pendidikan Islam), (Yogyakarta, Gama Media, 2002), hlm.113
0 komentar:
Posting Komentar