About Template

Minggu, 20 Agustus 2017




BIOGRAFI IMAM AL GHAZALI
A.    Latar Belakang Kehidupan Imam Al Ghazali
Zainuddin Hujjatul Islam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad at-Thusi al-Ghazali adalah nama lengkap dari imam al-Ghazali. Ia lahir di Thus, Khurasan, suau tempat kira-kira sepuluh mil dari Naisabur, Persia. Tepatnya lahir pada tahun 450 Hijriyah. Wafatnya pun di negeri kelahiran tersebut, pada tahun 505 Hijriyah. Masa muda al-Ghazali dihabiskan untuk menuntut dan memperdalam ilmu pengetahuan, sehingga menjadi seorang pemuda yang penuh dengan berbagai ilmu pengetahuan, senang berdiskusi, berdebat, dan membela paham keislaman dengan penuh logika(mantik) dan filsafat. Dalam masa pencarian ilmu pengetahuan, al-Ghazali pernah berguru kepada Imam Haramain di Naisabur, Persia.  Imam Haramain (nama lengkap Abdul Muluk al-Jwaini) adalah seorang ulama yang dilahirkan di Naisabur, Persia pada tahun 419 H. yang belajar ilmu Fiqh di Makkah. Setelah pandai kemudian dipanggil oleh raja Persia, diminta untuk mengajar pada Madrasah “NIDHAMUL MULUK” di Naisabur. Disanalah al-Ghazali belajar kepadanya. Imam Haramain adalah termasuk seorang ulama yang banyak mempunyai karya tulis, yang karya tulisnya banyak dikenal orang, terutama oleh mereka yang mengikuti faham Madzhab Syafi’i.
Ia telah menerima dasar-dasar pokok dalam bidang studi bahasa arab dan ilmu Fiqh di negerinya , kemudian pindah menuju Jurjan. Disanalah ia belajar pada seorang ulama dalam bidang ilmu Ushul Fiqh. Selanjutnya al-Ghazali kembali ke Thus, kemudian meneruskan menuju ke Nisyapur untuk berguru kepada Imam Haramain al-Juwaini. Setelah itu ia pindah ke Iraq, dikala itu nama al-Ghazali telah dikenal diseluruh penjuru. ia bertemu dengan Wazir Nizhamul Mulk yang kemudian diserahi tugas mengajar sebagai guru besar pada Universitas Nizhamia di Baghdad pada tahun 484 H, dan pada waktu itu pula beliau aktif menyusun beberapa buah kitab selama empat tahun.[1]  
Al-Ghazali dengan semangat yang membara terpacu untuk membangun dunia intelektualisme muslim, yang pada saat itu semakin jauh dari kebenaran. Kaum muslim saat itu terbagi menjadi empat golongan yakni kaum teolog yang mengandalkan kekuatan akal dibantu dengan wahyu, kaum filsuf yang mengandalkan kemampuan akal saja, ahli kebatinan (penganut syi’ah Bathiniyah) yang sangat memuja-muja Imam mereka, serta kaum sufi yang hanya mengandalkan kemampuan intuisi.[2] Keempat golongan tersebut masing-masing sangat eksklusif, mereka menganggap golongannya lah yang paling benar tanpa perlu campur tangan bidang lain. Karena itu al-Ghazali yang sejak kecil bergelut dengan ilmu berupaya menyatukan pemikiran-pemikiran tersebut dengan tetap mempertimbangkan bidang lain. Artinya, konsep pemikiran al-Ghazali tersebut mempertimbangkan akal (andalan filsuf dan teolog) serta amal namun tetap dengan tujuan seperti halnya sufi. Misalkan saja kepada ahli hakekat, al-Ghazali menyerukan untuk mengindahkan ajaran-ajaran syari’ah, demikian pula kepada ahli syari’ah diserukan untuk menyertakan pula aspek-aspek bathin dan keakheratan.
Menyikapi serangan intelektual barat. Para filsuf yang hanya mengandalkan kekuatan akal sering kali menyerang agama yang dianggap tidak rasional dan tipuan saja. Dominasi pemikiran intelektual barat yang nampak rasional dan logis sering kali mempengaruhi iman kaum muslimin, sehingga tiada jalan lain bagi al-Ghazali untuk mengembalikan kepercayaan kaum muslimin selain berperang menurut sudut pandang kaum filsuf. Menggunakan akal dan logika yang matang. Selama menjadi orang kepercayaan pejabat semasa perdana mentri Nizam al-Muluk, ia banyak menghadirkan diskusi-diskusi keilmuan disekitar istana.
sekitar tahun 488 H, al-Ghazali dilanda keragu-raguan, skeptis terhadap ilmu-ilmu yang dipelajarinya (hukum,teologi, dan filsafat), kegunaan pekerjaannya dan karya-karya yang dihasilkannya, sehingga ia menderita penyakit selama dua bulan dan sulit untuk diobati. Karenanya ia tidak bisa menjalankan tugasnya sebagai guru besar di Madrasah Nizhamiyyah. Akhirnya ia meninggalkan Baghdad menuju kota Damaskus dan tinggal disana selama dua tahun. Dikota ini beliau mulai berjihad melawan nafsu, mengubah akhlak, memperbaiki watak, dan menempa hidupnya. al-Ghazali melawan setan kebodohan, tuntutan kepemimpinan dan pangkat, serta kepura-puraan dengan akhlak mulia menuju ketenangan, mengenakan pakaian orang-orang saleh, dan meninggalkan angan-angan panjang . Dari Damaskus ia pergi ke Bait Al-Maqdis Palestina untuk melaksanakan ibadah haji dan menziarahi makam Rasulullah SAW. Sepulang dari tanah suci, al-Ghazali mengunjungi kota kelahirannya Thus dan disinilah ia tetap ber-khalwat, keadaan skeptis al-Ghazali berlangsung selama sepuluh tahun. Pada periode inilah ia menulis karya-karyanya yang terbesar Ihya’ ‘Ulumuddin. Karena desakan penguasa Saljuk, al-Ghazali mengajar kembali di Madrasah Nizhamiyyah  di Nisyabur selama dua tahun kemudian kembali ke Thus. Sebagai orang besar beliau telah menduduki jabatan, kebesaran dan kepemimpinan yang tinggi pada zamannya. Para mahasiswa dari penjuru dunia, ulama dan penguasa menaruh hormat kepadanya.
Al-Ghazali banyak mewakafkan harta bendanya demi memberi petunjuk kepada makhluk, menyerukan kepada mereka agar mementingkan urusan akhirat, membenci dunia, membimbing para pesuluk, bersiap-siap untuk berangkat kenegeri abadi, taat kepada setiap orang yang melihat tanda atau mencium bau makrifat. Setelah sekian lama al-Ghazali menghabiskan masa tua dengan kembali ke kampung halamannya, tinggal dirumah dan banyak bertafakur, mengisi waktu dengan sesuatu yang bermanfaat, dan menanamkan ketakutan kedalam qalbu.[3] Imam al-Ghazali mencapai kedudukan yang begitu tinggi dikalangan para ilmuwan. Kenyataan ini bisa dibuktikan oleh para analis dari berbagai agama dan generasi. Namanya menggema dari berbagai penjuru dunia. Untuk itulah ia diberi gelar Hujjah Al-Islam dan permata agama (Zain Al-Din).

B.    Filsafat Akhlak / Etika Imam al-Ghazali
Tujuan dari butir-butir nilai akhlaq yang dikemukakannya adalah sebagai sarana mencapai ma’rifatullah (mengenal Allah SWT) dengan arti membuka hijab-hijab yang membatasi diri manusia dengan Tuhannya, karena menurutnya akhlak sangat terkait erat dengan filsafat ketuhanannya. Menurut al-Ghazali, akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan perbuatan-perbuatan dan tindak-tanduk dengan mudah dan gampang tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan.  Menurutnya akhlak harus dimulai dengan pengetahuan tentang jiwa, kekuatan dan sifat-sifatnya. Karena jiwa merupakan sumber kebaikan, kebahagiaan, dan sebaliknya.
Al-Ghazali membagi jiwa menjadi tiga bagian, yakni jiwa bernafsu (an nafs al bahimiyyah) yang berasal dari materi, jiwa berani (an anafs as sabu’iyyah) dan jiwa berfikir (an nafs an nathiqah) yang berasal dari ruh Tuhan yang tidak akan hancur. Al-Ghazali juga membuat tabulasi kebaikan pokok, yang terdiri dari empat hal, yaitu kebijaksanaan, keberanian, menjaga kesucian dan keadilan. Empat hal ini merupakan jalan tengah dari ketiga jenis jiwa tadi. Untuk mencapai jalan tengah ini, diperlukan akal yang berfungsi efektif bagi terciptanya posisi tengah jiwa,  berpikir dan syari’at berfungsi efektif untuk terciptanya posisi tengah jiwa bernafsu dan berani.
Akhlak merupakan keseimbangan antara daya ilmu dan daya pengendalian amarah. Jalan untuk mencapai akhlak ialah dengan naluri insani serta latihan-latihan. Latihan ini dilakukan dengan amal-amal. Adapun tujuan dari akhlak luhur adalah menahan diri dari mencintai dunia wujud dan mengalihkan kepada nikmatnya mencintai Allah. Al-Ghazali berpendapat bahwa watak manusia pada dasarnya adalah seimbang kemudian lingkungan dan pendidikanlah yang memperburuknya. Sebagaimana prinsip Islam, al-Ghazali menganggap Tuhan sebagai pencipta yang berkuasa dan sangat memelihara srta menjadi rahmatan lil ‘alamin. Untuk taqarrub pada Allah yang terpenting adalah muqarabah dan muhasabah, adapun kesenangan menurut al-Ghazali ada dua, yaitu kepuasan(ladzdzat) ketika mengetahui kebenaran sesuatu dan kebahagiaan (sa’adah) ketika mengetahui kebenaran sumber dari segala kebahagiaan itu sendiri (ma’rifatullah disertai musyahadah al qalb).
Seperti dijelaskan sebelumnya, filsafat moral merupakan masalah pokok bagi al-Ghazali, sentral filsafat menurutnya adalah etika. Pandangan tersebut merupakan dampak dari kehidupan sufistiknya. Selain itu, faktor utama yang menyebabkan dirinya memandang filsafat etika (moral) lebih utama daripada filsafat metafisika karena etikalah yang menjadi dasar perubahan sosial. Bukanlah diskursus metafisika yang rumit dan mendalam yang dapat membimbing manusia untuk meraih keutamaan (kebahagiaan), melainkan aspek praktis atau moralitas (etika) yang dapat melayani tujuan tersebut.
C.    Pendidikan Dan Perkembangan Intelektual Imam Al-Ghazali
yang menarik dalam mengkaji sejarah hidup al-Ghazali adalah keinginan yang kuat untuk mencari hakikat kebenaran tentang segala sesuatu. Penggambaran intelektual dan spiritualnya berangkat dari ilmu kalam, fiqh, ushul fiqh, filsafat kemudian akhirnya pada dunia tasawuf yang menurutnya sebagai satu-satunya jalan untuk mencapai kebenaran yang tak tergoyahkan lagi.  Oleh Karena itu untuk memahami corak pemikirannya terkadang kita mengalami kesulitan sebagaimana dinyatakan oleh Ahmad Hanafi: ”Pikiran-Pikiran al-Ghazali telah mengalami perkembangan sepanjang hidupnya dan penuh kegoncangan batin sehingga sukar diketahui kesatuan-kesatuan kejelasan corak pemikirannya terhadap filsuf dan aliran-aliran aqidah pada masanya”. Pengembaraan intelektual al-Ghazali dilanjutkan ke daerah Muaskar dan bergabung dengan para intelektual disana dalam majelis seminar yang didirikan oleh Nizam al-Mulk.
D.  Karya-Karya Ilmiah Al-Ghazali
Al-Ghazali adalah seorang pemikir Islam yang sangat produktif, umurnya yang tidak begitu lama, yakni sekitar 55 tahun dia gunakan untu berjuang ditengah-tengah masyarakat dan mengarang berbagai karya yang sangat terkenal di seluruh penjuru dunia (Barat dan Timur), hingga para oreintalis Barat pun juga mengadopsi pemikiran-pemikirannya.
Puluhan karya ilmiah yang ditulisnya meliputi berbagai disiplin keilmuan,
mulai filsafat, politik, kalam, fiqih, ushul fiqih, tafsir, tasawuf, pendidikan dan
lain sebagainya.
Menurut Zaenal Abidin Ahmad, karangan-karangan al-Ghazali yang terkenal antara lain adalah sebagai berikut:
1.      Kelompok Filsafat dan Ilmu Kalam, meliputi :
a.       Maqashidul Falasifah (isinya tentang soal-soal falsafah menurut wajarnya, tanpa kecaman)
b.      Tahafutul Falasifah (isinya tentang kecaman-kecaman hebat terhadap ilmu filsafat)
c.       Al-Ma’arif al-Aqliyah (isinya tentang asal usul ilmu yang rasional. Apa hakekat dan tujuan yang dihasilkan)
2.      Bidang Pembangunan Agama dan Akhlak
a.       Al-Munqidz min al-Dhalal (Penyelamatan dari kesesatan)
b.      Ihya’ Ulum al-Din (Menghidupkan kembali kepada ilmu-ilmu agama)
c.       Minhaj al-Abidin (Jalan mengabdi diri kepada Allah)
d.      Mizan al-Amal (Timbangan amal)
e.       Misykal al-Anwar (Lampu yang bersinar banyak)
f.       Ayyuha al-Walad (Hai anak-anakku)
g.       Kimiya’ Sa’adah (Kimia kebahagiaan)
h.      Al-Wajiz (tentang Fikih)
i.        Al-Isbishad fi al-I’tiqad (menyederhanakan keimanan)
j.        Al-Adab fi al-Din (Adap sopan keagamaan)
k.      Al-Risatul Laduniyah (Penyelidikan bisikan qalbu)
3.      Bidang Politik
a.       Hujjah al-Haq (pertahanan kebenaran)
b.      Mufassir al-Khilaf (keterangan yang melenyapkan perselisihan faham)
c.       Suluk al-Sulthani (cara menjalankan pemerintahan atau tentang politik)
d.      Al-Qishthas al-Mustaqim (bimbingan yang benar)
e.       Al-Sir al-Amin (rahasia-rahasia alam semesta)
f.       Fatihah al-Ulum (pembuka pengetahuan)
g.       Al-Darajat (tangga kebenaran)
h.      Al-Tibr al-Masbuk fi Nashihat Mulk (nasehat-nasehat untuk kepala negara)
i.        Bidayatul Hidayah (permulaan petunjuk)
j.        Kanz al-Qaun (kas golongan rakyat)
Namun kalau menurut Badawi Thabanah, karya-karya al-Ghazali berjumlah 47 buah, semuanya dapat digolongkan sebagai berikut:
1.      Kelompok Filsafat dan Ilmu Kalam
a.      Maqashid al-Falasifah (tujuan para filosof)
b.      Tahafut al-Falasifah (Kekacauan para filosof)
c.       Al-Iqbishad fi al-I’tiqad (Moderasi dalam akidah)
d.      Al-Munqidz min al-Dhalal (Pembebas dari kesesatan)
e.       Al-Maqshad al-Asna fi Ma’ani Asma’illah al-Husna (asli nama-nama Tuhan)
f.         Faisal al-Tafriqah bain al-Islam wa al-Zindiqah (perbedaan Islam dan Atheis)
g.      Al-Qisthas al-Mustaqim (jalan untuk menetralisir perbedaan pendapat)
h.      Al-Mustadzin (penjelasan-penjelasan)
i.        Hujjah al-Haq (argumen yang benar)
j.        Mufahil al-Hilaf fi Ushul al-Din (pemisah perselisihan dalam prinsip prinsip agama)
k.       Al-Muntaha fi Ilmu al-Jidal (teori diskusi)
l.        Al-Madznan bihi ‘ala Ghairi Ahlihi (persangkaan pada yang bukan ahlinya)
m.     Minhaq al-Nadzar (metodologi logika)
n.      Asraru Ilm al-Din (misteri ilmu agama)
o.      Al-Arbain fi Ushul al-Din (40 masalah pokok agama)
p.      Iljam al-Awwan fi Ilm al-Kalam (membentengi orang awam dari ilmu kalam)
q.      Al-Qaul al-Jamil fi Raddi ‘ala Man Ghayyar al-Injil (jawaban jitu untuk menolak orang yang mengubah Injil)
r.       Mi’yar al-Ilmu (kriteria ilmu)
s.       Al-Intishar (rahasia-rahasia alam)
t.        Itsbat al-Nadzr (pemantapan logika)
2.      Kelompok Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh
a.       Al-Basith (pembahasan yang mendalam)
b.      Al-Wasith (perantara)
c.       Al-Wajiz (surat-surat wasiat)
d.      Khulashah al-Muktashar (intisari ringkasan karangan)
e.       Al- Mankhul (adat kebiasaan)
f.       Syifa’ al-Alil fi al-Qiyas wa al-Ta’wil (tetapi yang tepat qiyas dan ta’wil)
g.       Al-Dzariah ila Makarim al-Syari’ah (jalan menuju kemuliaan syari’ah)
3.      Kelompok Ilmu Akhlak dan Tasawuf
a.       Ihya’ Ulum al-Din (menghidupkan kembali ilmu-ilmu agama)
b.      Mizan al-Amal (timbangan amal)
c.       Kimya’ al-Sa’adah (kimia kebahagiaan)
d.      Misykat al-Anwar (relung-relung cahaya)
e.       Minhajul Abidin (pedoman orang yang beribadah)
f.       Al-Durar al-Fakhirah fi Kasyfi Ulum al-Akhirah (mutiara penyingkap ilmu akhirat)
g.       Al-Anis fi al-Wahdah (lembut-lembut dalam kesatuan)
h.      Al-Qurabah ila Allah (pendekatan kepada Allah)
i.        Akhlak al-Abrar wa Najat al-Asyrar (akhlak orang-orang baik dan keselamatan dari akhlak buruk)
j.        Bidayah al-Hidayah (langkah awal mencapai hidayah)
k.      Al-Mabadi wa al-Ghayah (permulaan dan tinjauan akhir)
l.        Talbis al-Iblis (tipu daya Iblis)
m.    Nashihat al-Muluk (nasihat unuk para raja)
n.      Al-Ulum al-Laduniyah (risalah ilmu ketuhanan)
o.      Al-Risalah al-Qudsiyah (risalah suci)
p.      Al-Ma’khadz (tempat pengambilan)
q.      Al-Amali (kemuliaan)
4.      Kelompok Ilmu Tafsir
a.       Yaqut al-Ta’wil fi Tafsir al-Tanwir (metode takwil dalam menafsirkan al-Qur’an)
b.      Jawahir al-Qur’an (rahasia-rahasia al-Qur’an) [4]
Demikianlah karir, karya ilmiah dan sepak terjang Abu Hamid al-Ghazali yang bagi hampir setiap muslim di dunia ini sudah tidak asing lagi. Al-Ghazali sesungguhnya bukan sekedar sufi, murabbi, dan ahli ilmu kalam. Lebih dari itu, beliau adalah social reformer ‘pembaharu masyarakat secara luas. Gelombang pembaharuannya sampai kini masih menghangat. Ahlussunnah wal Jama’ah, golongan muslim terbesar di dunia, semuanya gandrung pada pemikiran dan mau’idhah hasanah-nya[5].


[1] Imam al-ghazali, Neraca Beramal, (jakarta: PT Rineka Cipta, 1995), hlm. 275

[3] Imam al-Ghazali, mutiara ihya’ ulumuddin, terj. Irwan kurniawan (Bandung: IKAPI, 2000). Hlm.10
[4] Amin Syukur dan Masharudin, Intelektualisme Tasawuf, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2002), hlm. 141-144. Sebagai perbandingan juga bisa dilihat dalam Zainuddin, dkk., Seluk Beluk
Pendidikan dari al-Ghazali, (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), hlm. 19-21. Di dalam Ensiklopedi Islam
juga di sebutkan bahwa karya-karya al-Ghazali antara lain: Ihya Ulumuddin, Al-Munqidz Minal
Dalal, Minhajul Abidin, Bidayatul Hidayah, Ayyuhal Walad, Kaifiyatus Saadah, Tahafatul
Falasifah, Muqasidul Falasifah, Al-Qitos Al-Mustaqim, lihat, Munawir Sadzali, dkk., Esiklopedi
Islam Di Indonesia, (Jakarta: Departemen Agama RI 1992/1993), hlm. 308.
[5] Abdurrahman Mas’ud, Menggagas Pendidikan Nondikotomik (Humanisme Religius
sebagai Paradigma Pendidikan Islam), (Yogyakarta, Gama Media, 2002), hlm.113

0 komentar:

Posting Komentar