BAB I
PENDAHULUAN
- Latar Belakang Masalah
Al-Quran adalah wahyu Allah yang disampaikan oleh malaikat jibril pada Nabi
Muhammad sesuai dengan apa yang tertulis di lauh al-mahfud. Al-qur’an
mencangkup tiga pokok tujuan utama, yaitu dalam bidang akidah, bidang syariah,
dan bidang ahlak.[1] Al-qur’an
turun berdasarkan peristiwa-peristiwa yang melatarbelakanginya.[2] Hal itu disesiuaikan dengan tuntutan realitas Zaman, waktu, dan
kemaslahatan manusia.
Secara umum Maqasid Al- Tasri’ adalah untuk
kemaslahatan manusia. Maka dalam pembentukan kemaslahatan manusia tidak dapat
dielakkan, adanya Nasikh Mansukh terhadap beberapa hukum terdahulu dan diganti
dengan hukum yang maslahah. Proses serupa ini, disebut dengan nasikh
mansukh. Oleh karena itu untuk mengetahui Al-Qur’an dengan baik harus
mengetahui ilmu nasikh mansukh dalam Al-qur’an. Dengan demikian dapat dipahami bahwa nasikh mansukh terjadi karena Al-Qur’an
diturunkan secara berangsur-angsur sesuai dengan peristiwa yang mengiringinya.
Nasikh dan mansukh merupakan salah satu cara yang ditempuh
oleh para ulama dalm menafsirkan Al-Qur’an, apabila mereka kesulitan
menyelesaikan dan keluar dari dua ayat yang seolah-olah bertentangan antara
yang satu dengan yang lainya. Apabila mereka mengetahui yang lebih awal muncul,
maka yang lebih awal munculnya tersebut mereka menasikhkan dengan yang
datangnya belakangan.
Dalam penulisan
makalah ini penulis membatasi pembahasan ilmu Al-Qur’an tersebut terhadap nasikh dan mansukh. Dimulai dengan pengertian nasakh mansukh sampai hikmah adanya nasakh
mansukh. Dengan pengetahuan yang
benar tentang nasakh-mansukh, memperlihatkan segi hikmah ilahi dalam
memelihara keselamatan manusia dan serta memperkokoh keyakinan, bahwa sumber
Al-Qur’an yang hakiki adalah Allah Rabbul’alamiin. Karena Allah jualah yang
menghapus dan menetapkan sesuatu menurut kehendaknya.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa pengertian
Nasikh dan Mansukh dan Urgensinya?
2. Apa saja Syarat-syaratnya?
2. Bagaimana
sejarah Nasikh dan Mansukh?
3. Apa saja Macam-macam Nasakh dan Mansukh?
4. Apa Hikmah nasakh mansukh?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian dan Urgensi nasakh Mansukh
1.
Pengertian Nasikh dan
Mansukh
Naskh secara bahasa berasal dari
bahasa arab yaitu نسح
bentuk masdar
نسخاً artinya menghilangkan, menghapuskan,
memindahkan.[3] Nasakh
dapat bermakna izalah seperti firman Allah[4],
Allah menghilangkan apa yang dimasukkan oleh syaitan itu, dan Allah
menguatkan ayat-ayat- nya. dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana,
ayat mana
saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya,
Nasakh dapat bermakna menukilkan dari suatu tempat ke tempat yang lain seperti
pada perkataan:” nasakhtu al-kitaba= saya menukilkan isi kitab” yaitu kita
nukilkan apa yang ada di dalam kitab itu meniru lafal dan tulisan.[7]
Menurut istilah nasakh ialah mengangkat (menghapus) hukum syara’ dengan
dalilhukum (khitab ) syara yang lain.[8]
Sedangkan mansuk adalah hukum yang
diangkat atau dihapuskan.
Secara terminologi Quraish Shihab menyatakan bahwa:
“ulama-ulamamutaqaddimin dan muta’akhirin tidak
sepakat dalam memberikan pengertian naskhsecara terminologi. Hal
itu terlihat dari kontroversi, yang muncul diantara mereka dalam
menetapkan adanya naskh dalam Al-Qur’an. Ulama mutaqqadimin bahkan
memperluas arti naskh hingga mencakup:
a. Pembatalan hukum yang ditetapkan oleh hukum yang
ditetapkkan kemudian,
b. Pengecualian hukum yang bersifat umum oleh hukum
yang spesifik yang datang kemudian,
c. Penjelasan susulan terhadap hukum yang bersifat ambigius,
d. Menetapkan syarat bagi hukum yang datang kemudian guna
membatalkan atau merebut atau menanyakan berakhirnya masa berlakunya hukum
terdahulu.
2.
Urgensi Nasakh Mansukh
Adanya nasikh-mansukh tidak dapat
dipisahkan dari sifat turunnya al-Qur'an
itu sendiri dan tujuan yang ingin dicapainya.
Turunnya Kitab Suci al-Qur'an tidak terjadi
sekaligus, tapi berangsur-angsur dalam waktu 20 tahun lebih. Hal ini memang
dipertanyakan orang ketika itu, lalu Qur'an sendiri
menjawab, pentahapan itu untuk pemantapan, khususnya di
bidang hukum.[9]
Dalam hal ini Syekh al-Qasimi berkata,
sesungguhnya al-Khalik Yang Maha Suci lagi Maha Tinggi
mendidik bangsa Arab selama 23 tahun dalam proses
tadarruj (bertahap) sehingga mencapai kesempurnaannya dengan perantaraan
berbagai sarana sosial. Hukum-hukum itu mulanya bersifat
kedaerahan, kemudian secara bertahap diganti Allah dengan yang lain, sehingga bersifat
universal.
Bahwa naskh (penghapusan) adalah
undang-undang alami yang lazim, baik
dalam bidang material maupun spiritual, seperti proses
kejadian manusia dari unsur-unsur sperma dan telur
kemudian menjadi janin, lalu berubah menjadi
anak, kemudian tumbuh menjadi remaja,
dewasa, kemudian orang tua dan seterusnya. Setiap proses peredaran
(keadaan) itu merupakan bukti nyata, dalam alam ini selalu
berjalan proses tersebut secara rutin. Dan kalau naskh yang terjadi pada
alam raya ini tidak lagi diingkari terjadinya, mengapa
mempersoalkan adanya penghapusan dan proses pengembangan serta
tadarruj dari yang rendah ke yang lebih tinggi. Apakah
seorang dengan penalarannya akan berpendapat bahwa yang bijaksana langsung
membenahi bangsa Arab yang masih dalam
proses permulaan itu, dengan beban-beban yang hanya patut bagi suatu
bangsa yang telah mencapai kemajuan dan kesempurnaan dalam
kebudayaan yang tinggi. Kalau pikiran seperti ini tidak akan diucapkan seorang yang
berakal sehat, maka bagaimana mungkin hal semacam itu akan dilakukan
Allah swt. Yang Maha Menentukan hukum, memberikan beban
kepada suatu bangsa yang masih dalam proses pertumbuhannya dengan
beban yang tidak akan bisa dilakukan melainkan oleh suatu
bangsa yang telah menaiki jenjang kedewasaannya.
Lalu, manakah yang lebih baik, apakah
syari'at yang menurut sunnah Allah ditentukan
hukum-hukumnya sendiri, kemudian di-nasakh-kan karena
dipandang perlu atau disempurnakan hal-hal yang
dipandang tidak mampu dilaksanakan manusia dengan alasan
kemanusiaan ataukah syari'at-syari'at agama lain yang
diubah sendiri oleh para pemimpinnya sehingga sebagian hukum-hukumnya
lenyap sama sekali.
Syari'at Allah adalah perwujudan dari
rahmat-Nya. Dia-lah yang Maha Mengetahui kemaslahatan hidup
hamba-Nya. Melalui sarana syari'at-Nya, Dia mendidik manusia hidup
tertib dan adil untuk mencapai kehidupan
yang aman, sejahtera dan bahagia di dunia dan di akhirat.
B.
Syarat-Syarat Nasakh
Ruang lingkup naskh hanya terjadi
pada perintah dan larangan, baik yang diungkapkan secara tegas dan jelas,
maupun yang diungkapkan dengan kalimat berita (khabar) yang bermakna
perintah (amar) atau larangan (nahi). Nask terjadi
dalam berita atau khabar. Jelasnya tidak semakna dengan perintah dan larangan,
seperti halnya janji dan ancaman.
Kemudian syarat-syarat terjadinya nask adalah
sebagai berikut:
1. Yang dinasakh itu hukum syar’i
2. Dalil penghapusan hukum nasakh tersebut adalah dalil
syar’i
3. Dalil yang mengangkat itu mempunyai tenggang waktu (al-tarakhi) dengan hukum pertama dan tidak mempunyai
hubungan al-qaid dengan muqayad.
4. Dalil antara keduanya bertentangan secara hakiki.
Dasar-dasar penetapan nasikh dan mansukh,
dalam hal ini Manna’ Khalil Al-Qathan menetapkan tiga dasar untuk menegaskan
bahwa suatu ayat itu dikatakan nasikh(menghapus), dan ayat lain
dikatakan mansukh (dihapus), yaitu:
1. Melalui pentranmisian yang jelas (an-naql
ash-sharih) dari Nabi atau para sahabatnya,
2. Melaui kesepakatan umat bahwa ayat ini nasikh dan
ayat ini mansukh,
3. Melaui studi sejarah, ayat mana yang lebih belakangan
turun, sehingga disebutnasikh, dan ayat mana yang terlebih dahulu turun
hingga disebut mansukh.
C.
Macam-Macam
Nasakh
Berdasarkan kejelasan dan cakupanya, naskh dalam Al-Qur’an
dikelompokan kepada empat macam, yaitu nasikh sharih, naskh dhimmy, naskh
kully dan naskh juz’iy. Nasakh terkadang sharih (jelas) dan terkadang
bersifat dhimni (kandunganya). Nasakh yang sharih yaitu nasakh yang terdapat
dalam hukum positif atau berupa peraturan. Sedangkan nasakh dhimni yaitu syara’
tidak menyebutkan terang-terangan
dalam penyariatanya. [10]
Pembagian nasakh ada empat yaitu
1. Nasakh al-qur’an dengan al-qur’an
Contohnya, , Diantaranya ayat tentang perang (qital) yang
mengharuskan satu orang muslim melawan 10 orang kafir adalah ayat 65 dari surat
Al-Anfal Ayat ini menurut Jumhur Ulama dihapus oleh ayat yang mengharuskan
orang mukmin melawan dua orang kafir, seperti pada surat Al-Anfal ayat 66 .
$pkr'¯»t ÓÉ<¨Z9$# ÇÚÌhym úüÏZÏB÷sßJø9$# n?tã ÉA$tFÉ)ø9$# 4
bÎ) `ä3t öNä3ZÏiB tbrçô³Ïã tbrçÉ9»|¹ (#qç7Î=øót Èû÷ütGs($ÏB 4
bÎ)ur `ä3t Nà6ZÏiB ×ps($ÏiB (#þqç7Î=øót $Zÿø9r& z`ÏiB úïÏ%©!$# (#rãxÿx. óOßg¯Rr'Î/ ×Pöqs% w cqßgs)øÿt ÇÏÎÈ z`»t«ø9$# y#¤ÿyz ª!$# öNä3Ytã zNÎ=tæur cr& öNä3Ïù $Zÿ÷è|Ê 4
bÎ*sù `ä3t Nà6ZÏiB ×ps($ÏiB ×otÎ/$|¹ (#qç7Î=øót Èû÷ütGs($ÏB 4
bÎ)ur `ä3t öNä3ZÏiB ×#ø9r& (#þqç7Î=øót Èû÷üxÿø9r& ÈbøÎ*Î/ «!$# 3
ª!$#ur yìtB tûïÎÉ9»¢Á9$# ÇÏÏÈ
65. Hai Nabi, Kobarkanlah semangat Para
mukmin untuk berperang. jika ada dua puluh orang yang sabar diantaramu, niscaya
mereka akan dapat mengalahkan dua ratus orang musuh. dan jika ada seratus orang
yang sabar diantaramu, niscaya mereka akan dapat mengalahkan seribu dari pada
orang kafir, disebabkan orang-orang kafir itu kaum yang tidak mengerti
66. sekarang
Allah telah meringankan kepadamu dan Dia telah mengetahui bahwa padamu ada
kelemahan. Maka jika ada diantaramu seratus orang yang sabar, niscaya mereka
akan dapat mengalahkan dua ratus orang kafir; dan jika diantaramu ada seribu
orang (yang sabar), niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ribu orang,
dengan seizin Allah. dan Allah beserta orang-orang yang sabar.
Contoh lain: firman Allah Azza wa Jalla.
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا نَاجَيْتُمُ
الرَّسُولَ فَقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيْ نَجْوَاكُمْ صَدَقَةً ذَلِكَ خَيْرٌ لَّكُمْ
وَأَطْهَرُ فَإِن لَّمْ تَجِدُوا فَإِنَّ اللهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu mengadakan
pembicaraan khusus dengan Rasul hendaklah kamu mengeluarkan sedekah (kepada
orang miskin) sebelum pembicaraan itu.Yang demikian itu adalah lebih baik
bagimu dan lebih bersih; jika kamu tiada memperoleh (yang akan disedekahkan)
maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. [Al Mujadalah :12]
Ayat ini
menunjukkan kewajiban shadaqah bagi yang mampu sebelum berbisik-bisik dengan
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian ayat ini dimansukh ayat
berikutnya yang menghapuskan kewajiban tersebut. Lihat hal ini dalam Tafsir
Ibnu Katsir. Allah Azza wa Jalla firmanNya:
ءَأَشْفَقْتُمْ أَن تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيْ
نَجْوَاكُمْ صَدَقَاتٍ فَإِذْ لَمْ تَفْعَلُوا وَتَابَ اللهُ عَلَيْكُمْ
فَأَقِيمُوا الصَّلاَةَ وَءَاتُوا الزَّكَاةَ وَأَطِيعُوا اللهَ وَرَسُولَهُ وَاللهُ
خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
Apakah kamu
takut akan (menjadi miskin) karena kamu memberikan sedekah sebelum pembicaraan
dengan Rasul Maka jika kamu tiada memperbuatnya dan Allah telah memberi taubat
kepadamu maka dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatlah kepada Allah dan
Rasul-Nya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. [Al Mujadalah:13]
2. Nasakh al-qur’an dengan sunnah
a. Nasakh al-qur’an dengan hadis mutawatir
Naskh senacam ini dibolehkan oleh Malik, Abu
Hanifah, dan Ahmad dalam satu riwayat, sebab masing-masing keduanya adalah
wahyu. Allah berfirman:Artinya: “Dan Tiadalah yang diucapkannya itu
(Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain
hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (QS. An-Najm 3-4)
Dalam pada itu Asy-syafi’i, Zhahiriyah dan Ahmad
dalam riwayatnya yang lain menolaknaskh seperti ini, berdasarkan
firman Allah, Artinya: “Ayat mana saja
yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan
yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. tidakkah kamu
mengetahui bahwa Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?” (QS.
Al-Baqarah:106)
Sedang hadits tidak lebih baik dari atau sebanding
dengan Al-qur’an.[11]
b. Nasakh al-quran dengan hadis ahad
Jumhur berpendapat,
Al-qur’an tidak boleh dinasakh oleh hadits ahad, sebab Al-qur’an adalah
mutawattir dan menunjukkan keyakinan, sedang hadits ahad itu zhanni, bersifat dugaan, disamping tidak
sah pula menghapusakan sesuatu yang maklum (jelas diketahui) dengan yang mazhnun (diduga).
3.
Nasakh sunnah
dengan al-Qur’an
Contoh jenis ini adalah: syari’at shalat menghadap
Baitul Maqdis, yang ini berdasarkan Sunnah, dihapuskannya dengan firman Allah
Azza wa Jalla.[12]
قَدْ نَرَى
تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمَآءِ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا
فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَحَيْثُ مَا كُنتُمْ فَوَلُّوا
وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ
Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke
langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai.
Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan di mana saja kamu berada,
palingkanlah mukamu ke arahnya. [Al Baqarah :144]
4.
Nasakh sunnah dengan sunnah
Contoh: Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam.
نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُورِ فَزُورُوهَا
Dahulu aku
melarang kamu dari berziarah kubur, maka sekarang hendaklah kamu berziarah
(kubur). [HR. Muslim, no: 977]
Dengan
penjelasan di atas jelaslah bahwa di dalam Al-Qur’an ada nasikh (ayat yang
menghapus hukum yang sudah ada sebelumnya) dan mansukh (ayat yang dihapus)
hukumnya atau lafazhnya.
D.
Hikmah
nasakh dalam al-Qur’an
1. Untuk menunjukkan bahwa syariat islam adalah syariat
yang paling sempurna.
2. Selalu menjaga kemaslahatan hamba agar kebutuhan
mereka senantiasa terpelihara dalam semua keadaan dan disepanjang zaman.
3. Untuk menjaga agar perkembangan hukum islam selalu
relevan dengan semua situasi dan kondisi umat yang mengamalkan, mulai dari yang
sederhana sampai ketingkat yang sempurna.
4. Untuk menguji orang mukallaf, apakah dengan adanya
perubahan dan penggantian-penggantian dari nasakh itu mereka tetap taat, setia
mengamlkan hukum-hukm allah, atau dengan begitu lalu mereka ingkar dan
membangkang.
5. Untuk menambah kebaikan dan pahala bagi hamba yang
selalu setia mengamalkan hukum-hukum perubahan, walaupun dari yang mudah kepada
yang sukar.
6. Untuk memberi dispensasi dan keringanan bagi ummat
islam, sebab dalam beberapa nasakh banyak yang memperingan beban dan memudahkan
pengamalan guna menikmati kebijakansanaan dan kemurahan allah swt. Yang maha
pengasih lagi maha penyayang.[13]
BAB III
PENUTUP
Naskh adalah hal yang diperbolehkan keberadaannya
dalam agama Islam. Hal ini sesuai dengan dalil yang telah datang dari Alqur’an
dan sunnah Rasulullah SAW.
Demi menjaga kemashlahatan hamba-Nya, Allah telah
menghapus sebagian hukum dalam syari’at Islam. Bila ternyata hukum penggantinya
itu lebih ringan, maka itu adalah kemudahan yang diberikan oleh Allah di dunia
ini secara langsung, namun apabila ternyata penggantinya lebih berat, maka
tidak lain hal ini akan melipat gandakan pahala pelaksananya sebagai balasan
atas ketaatannya pada aturan Allah Ta’ala.
Bahwa Allah Ta’ala adalah raja segala raja yang hanya
Dia-lah yang berkuasa membuat peraturan bagi hamba-hamba-Nya. Maka dari itu
hendaknya kita selalu tunduk pada aturan-aturan yang datang dari-Nya, yang
berupa perintah maupun larangan.
Daftar
Pustaka
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu
Ushul Fikih,terj. Moh.Zuhri dan Ahmad Qarib,Semarang: Dina Utama, 1994..
M. Quraish Shihab, M. Quraish
Shihab Menjawab1001 Soal Keislaman Yang Patut
Anda Ketahui, Jakarta: Lentera Hati, 2008.
----------------------Membumikan Al-Qur’an, Bandung: Mizan, 1994.
M. Hasbi ash-Shiddiqy, Ilmu-Ilmu
Al-Qur’an, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2014.
Manna’ Khalil al-Qattan, Studi
Ilmu-Ilmu Qur’an, terj. Maulana Hasanuddin,
Jakarta: Pustaka Nusantara, 2009.
A.W. Munawwir, Kamus Al-Munawir Arab
Indonesia, Surabaya: Pustaka Progresif,
1997.
Ahmad Mustofa AL-Maraghi, Terjemah Tafsir
Al-Maraghi, terj. Anwar Rasyidi dkk, Semarang: Toha Putra, 2010.
[1] Baca M. Quraish Shihab, 1001 Soal Keislaman
Yang Patut Anda Ketahui, (Jakarta: Lentera Hati, 2008) hlm. 275-287.
Dan M.Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1994), hlm.143.
[2] Ahmad Mustofa AL-Maraghi, Terjemah Tafsir Al-Maraghi, terj.
Anwar Rasyidi dkk, (Semarang: Toha Putra, 2010) hlm.4
[3]A.W. Munawwir, Kamus Al-Munawir Arab Indonesia, (Surabaya:
Pustaka Progresif, 1997), hlm. 1412
[4] M. Hasbi ash-Shiddiqy,
Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2014), hlm.138.
[5] Q.S. Al-Hajj(22): 52.
[6] Q.S. Al-Baqarah(2): 106.
[7] M. Hasbi ash-Shiddiqy, Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, hlm. 138.
[8] Manna’ Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, terj. Maulana
Hasanuddin, (Jakarta: Pustaka Nusantara,
2009), hlm. 426-427.
[9] M. Quraish Shihab, Quraish Shihab menjawab 1001 Soal
Keislaman…hlm.276.
[10] Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih,terj. Moh.Zuhri dan Ahmad Qarib (Semarang: Dina Utama,
1994), hlm.348.
[11] Manna’ KhalilAl-Qattan,Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an.. hlm334-335.
[12] Ibid hlm. 335.
[13] Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih,terj. Moh.Zuhri dan Ahmad Qarib (Semarang: Dina Utama,
1994), hlm. 346-347.
0 komentar:
Posting Komentar