BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Menurut kata filsafat berasal dari kata yunani filosifia, yang
berasal dari kata kerja filosofein yang berarti mencintai
kekebijaksanaan. Perkembangan filsafat tidak dapat dipisahkan dengan
perkembangan (ilmu) pengetahuann yang munculnyapada masa peradaban Kuno (massa
Yunani).
Berdasarkan periodasi terdapat
corak pemikiran yang dilihat dari masa atau waktu. Pertama masa yunani dilihat
dari kearah pemikiran pada alam semesta, corak pemikirannya disebut
kosmosentri, kedua adalah zaman adab pertengahan corak pemikirannya
kefilsafatanya bersifat teosentri, dimana pemikirannya dipengaruhi oleh agama
pemecahan semua persoalan berdasarkan atas dogma agama oleh kepercayaan
kristen. Ketiga, adalah zaman Abad Modern, para filosof zaman ini
menjadikan manusia sebagai pusat analisis filsafat, maka corak filsafat zaman
ini lazim disebut antroposentris. Filsafat Barat modern dengan demikian
memiliki corak yang berbeda dengan filsafat Abad Pertengahan. Letak perbedaan
itu terutama pada otoritas kekuasaan politik dan ilmu pengetahuan. Jika pada
Abad Pertengahan otoritas kekuasaan mutlak dipegang oleh Gereja dengan
dogma-dogmanya, maka pada zaman Modern otoritas kekuasaan itu terletak pada
kemampuan akal manusia itu sendiri. Manusia pada zaman modern tidak mau diikat
oleh kekuasaan manapun, kecuali oleh kekuasaan yang ada pada dirinya sendiri
yaitu akal. Kekuasaan yang mengikat itu adalah agama dengan gerejanya serta
Raja dengan kekuasaan politiknya yang bersifat absolut.
keempat adalah masa abad dewasa ini (filsafat
abad modern)Keempat, adalah Abad Kontemporer dengan ciri pokok pemikiran
logosentris, artinya membahas tentang cara berfikir untuk mengatur pemakaian
kata – kata atau istilah yang menimbulkan kerancuan, sekaligus dapat menunjukkan
bahaya – bahaya yang terdapat di dalamnya, karena bahasa menjadi objek
terpenting dalam pemikiran bahasa. Dengan penulis
ingin mengembangkan salah satu pemikiran filsafat yaitu mengenai kritisisme
yang merupakan filasafat yang timbul akibat pertentang antara rasionalisme
dengan empirisme.
Kritisisme sendiri merupakan salah satu aliran dari filsafat pengetahuan
(epistemologi) yang dicetuskan oleh Immanuel Kant, seorang tokoh filosuf
Barat abad modern. Epsitemologi Kritisisme Immanuel Kant merupakan
filsafat pengetahuan kritisisme yang diintrodusir oleh Immanuel Kant, seorang filsuf Barat abad modern.
Wacana epistemologi dalam literatur Barat merupakan wacana yang sangat
krusial dari zaman dahulu hingga sekarang, dan sangat menarik untuk dikaji
serta dapat membuka perspektif baru dalam kajian ilmu pengetahuan yang multi-dimensional,
sehingga tema makalah ini patut dibahas.
B.
RUMUSAN
MASALAH
Berdasarkan latar balakang yang telah diuraikan
diatas, maka rumusan masalah pada makalah ini sebagai berikut :
1.
Apakah pengertian Kritisisme ?
2.
Apa macam-macam dan ciri-ciri dari kritisisme
C.
TUJUAN
MASALAH
Berdasakan masalah diatas, maka tujuan dari penulisan
makalah ini adalah :
1.
Untuk memahami pengertian Kritisisme
2.
Untuk memahami macam-macam dan ciri-ciri
dari kritisisme
D.
MAMFAAT
Makalah
ini diharapkan dapat bermamfaat untuk mengatahui dan memberikan gambaran
mengenai kritisisme dan macam-macam dan ciri-ciri dari kritisisme
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Kritisisme
Kritisisme berasal dari kata kritika yang merupakan kata kerja dari krinein yang artinya memeriksa dengan teliti, menguji,
membeda-mbedakan. Dalam Bahasa Indonesia, kritis yaitu sifat tidak percaya atau
bersifat selalu berusaha untuk menemukan kesalahan atau kekeliruan.[1] Isme
yaitu sufiks pembentuk nomina sistem kepercayaan berdasarkan politik, sosial
ekonomi.[2] Adapun
pengetian yang lebih lengkap adalah penetahuan yang memeriksa dengan teliti,
apakah pengetahuan itu sesuai dengan realita dan bagaimanakah kesesuainya
dengan kehidupan.
Kritisisme adalah filsafat yang memulai perjalannya
dengan terlebih dahulu menyelidiki kemampuan kritik atas rasio murni, lalu
kritik atas rasio praktis, dan terakhir adalah kritik atas daya pertimbangan.[3]
Aliran kritisisme ini muncul pada
abad ke – 18. Suatu zaman dimana sesorang ahli berpikir yang cerdas mencoba
menyelesaikan pertentangan antara rasionalisme dan empirisme. Pada zaman ini
disebut zaman pencerahan (Aufklarung)
dimana manusia lahir dalam keadaan belum dewasa setelah Kant mengedakan penyelidikan ( Kritik )
terhadap peran pengetahuan akal. Dimana manusia melihat adanya kemajuan ilmu
pengetahuan (ilmu pasti, biologi, filsafat dan
sejarah) mencapai hasil yang mengembirakan dan disisi lain jalannya
filsafat tersendat sendat. Untuk itu filsafat dapat berkembang sejajar dengan
ilmu pengetahuan alam. Isaac Newton ( 1642 – 1727 ) memberikan dasar berfikir
yang induksi yaitu pemikiran yang titik bertolak pada gejala gejala dan
pengembalikan kepada dasar – dasar yang bersifatnya umum. Dan dijerman
pertentangan antara rasionalisme dan empirisme semakin berlanjut.
Menurut seorang ahli pikir jerman
Immanuel Kant (1724 – 1804 ) ingin mencoba permasalahan dan memahami secara
arti dari kedua aliran tersebut maka ia mengakui kebenaran ilmu dan dengan akal
manusia akan dapat mencapai kebenaran. [4]
Dengan demikian akhirnya, Kant
mengakui peranan akal dan keharusan empiri, sehingga diadakan sitensis. Walau
pengetahuan bersumber pada akal (Rasionalisme ), tetapi adanya pengertian
timbul dari benda (empirisme). Ibarat burung harus mempunyai sayap (rasio) dan
udara (empiri).
Maka kita dapat menyimpulkan bahwa Pendirian aliran rasionalisme dan Emperisme sangat
bertolak belakang. Rasionalisme berpendirian bahwa rasiolah sumber
pengalan/pengetahuan, sedang Empirisme sebaliknya berpendirian bahwa
pengalamanlah yang menjadi sumber tersebut.
Imanuel Kant (1724-1804 M) berusaha mengadakan
penyelesaian atas pertikaian itu dengan filsafatnya yang dinamakan Kritisisme
(aliran yang kritis). Jadi metode berpikirnya metode Kritis walaupun ia mendasarkan diri yang
ringgi dari akal tetapi ia titak mengingkari adanya persoalan persoalan yang
melampaui akal. Karena itu iirasionalitas dari kehidupan dapat diterima dari
kenyataannya.
B.
Macam-Macam
dan Ciri-Ciri Dari Kritisisme
Adapun kritisisme dibagi menjadi tiga, antara lain sebagai berikut:
1. Kritik atas Rasio
Murni
Kant menjelaskan
bahwa ciri pengetahuan adalah bersifat umum, mutlak dan memberi pengertian
baru. Untuk itu ia terlebih dulu membedakan adanya tiga macam putusan, yaitu:
a.
Putusan analitis apriori;
kebenaran yang dijadikan sandaran sudah ada dan menjadi titik pangkal,[5]
dimana predikat tidak menambah sesuatu yang baru pada subjek, karena sudah
termuat di dalamnya (misalnya, setiap benda menempati ruang).
b.
Putusan sintesis aposteriori,
Yakni hal yang menjadi
titik tolak tergantung adanya dari yang dicari: analisis atau reduksi
struktural, induksi,dan regresi.[6] Apesteriori menurut istilah adalah
menunjukkan sejenis pengetahuan yang dapat dicapai hanya dari pengalaman, maka
dari itu pengetahuan dapat dirumuskan hanya setelah observasi dan eksperimen.
Lawan dari a priori. Apriori digunakan, kontras dengan aposteriori, unutk
mengacu kepada kesimpulan-kesimpulan yang diasalkan dari apa yang sudah
ditentukan, dan bukan dari pengalaman. Apriori berarti tidak bergantung pada
pengalaman inderawi. Kant sebenarnya meneruskan perjuangan Thomas Aquinas yang
pernah melakukannya. Kant sendiri semula berpegang teguh kepada rasionalisme,
karena dia adalah orang Jerman yang semula memegang teguh tentang ajaran
rasionalisme. Namun ia juga tertarik tentang empirisme yang dikembangkan oleh
David Hume seorang filosof Inggris. Dan sejak itulah kant merasa bahwa
rasionalisme dan empirisme dapat digabungkan dan merupakan sebuah bagian yang
dapat melengkapi satu sama lain.
Misalnya pernyataan
“meja itu bagus” di sini predikat dihubungkan dengan subjek berdasarkan
pengalaman indrawi, karena dinyatakan setelah (=post, bhs latin) mempunyai
pengalaman dengan aneka ragam meja yang pernah diketahui.
c.
Putusan sintesis apriori;
Putusan
ini memang mengandung suatu kepastian dan berlaku umum. Sedangkan pengetahuan
yang dihasilkan aliran empirisme tercermin dalam putusan Sintetik-Aposteriori .
Yang sifatnya tidak tetap. Kant memadukan keduanya dalam suatu bentuk putusan
yang Sintetik-Apriori. Disini dipakai
sebagai suatu sumber pengetahuan yang kendati bersifat sintetis, namun bersifat
apriori juga. Misalnya, putusan yang berbunyi “segala kejadian mempunyai
sebabnya”. Di dalam putusan ini, akal budi dan pengalaman indrawi dibutuhkan
serentak. Cara kita untuk mendapatkan putusan Sintetik-Apriori, menurut Kant,
syarat rasio untuk dapat mencapai tahap rasionalitasnya yakni melewati tiga
tahap.[7]
Yaitu Tiga tingkatan pengetahuan manusia,
yaitu:
1)
Tingkat
Pencerapan Indrawi (sensibility)
Unsur apriori, pada taraf ini, disebut Kant
dengan ruang dan waktu. Dengan unsur apriori ini membuat benda-benda objek
pencerapan ini menjadi ‘meruang’ dan ‘mewaktu. Pada taraf sensibility apa yang
ditangkap yakni sebagai penampakan (phenomenon) sudah merupakan paduan
antara unsur materi (unsur a posteriori) dan forma ruang-waktu (unsur a
priori). Adapun data-data indrawi yang diperoleh dari sensibility kemudian
diolah menjadi pengetahuan―ini berlangsung pada taraf understanding.
Understanding tampil dalam bentuk putusan (judgment). Pada putusan itu
terjadi sintesis antara unsur a posteriori dan a priori. Putusan: “Jika air
dipanaskan sampai suhu 100ºC maka akan mendidih” merupakan sintesis antara
unsur a posteriori dan a priori. Yang memainkan peran sebagai unsur a
posteriori adalah elemen-elemen pengalaman: “api membakar bejana berisi air”,
“suhu itu sampai 100º C”, “lalu air mendidih”; sementara yang memainkan peran
sebagai unsur a priori dalam putusan tersebut adalah kategori kausalitas
(jika-maka) yang terdapat dalam akal-budi (understanding). Alih-alih empirisme
mementingkan pengetahuan a posteriori dan rasionalisme mementingkan pengetahuan
a priori, lewat filsafat Kant pengetahuan merupakan sintesis antara dua unsur
tersebut. Tegasnya, melalui pemikiran Kant kita dapat melihat bahwa pengetahuan
kita tegak dengan dasar “dua kaki”: yakni unsur a priori yang ada di
akal-budi dan data-data indrawi yang kita peroleh dari pengalaman (unsur a
posteriori). Akal-budi tanpa pengalaman adalah kosong, pengalaman tanpa
akal-budi adalah hampa.
2)
Tingkat Akal
Budi (Verstand)
Bersamaan dengan pengamatan indrawi, bekerjalah akal
budi secara spontan. Tugas akal budi adalah menyusun dan menghubungkan
data-data indrawi, sehingga menghasilkan putusan-putusan. Pengetahuan akal budi
baru dieroleh ketika terjadi sintesis antara pengalaman inderawi tadi dengan
bentuk-bentuk apriori yang dinamai Kant dengan ‘kategori’, yakni ide-ide
bawaan yang mempunyai fungsi epistemologis dalam diri manusia. Dalam investigasi ini Kant berpendapat bahwa ada
tiga postulat yang membangun moralitas, yaitu, kebebasan, keabadian jiwa, dan
Allah. Inilah tiga realitas tertinggi dari filsafat tradisional, dan Kant, yang
telah menyangkal kemampuan kita untuk mencapai mereka melalui pengetahuan
teoritis, percaya bahwa ia bisa menegaskan eksistensi mereka melalui akal budi
praktis. Pertama, Kant mengamati bahwa kehendak bersifat independen dari semua
daya pikat yang berasal dari dunia fenomenal. Alasannya karena kehendak
bersifat otonom. Kehendak tidak bisa bersifat demikian jika dia ditentukan atau
dikondisikan oleh mekanisme kausal. Oleh karena itu, kehendak adalah bebas
(postulat pertama). Kedua, Kant
mengamati bahwa kebajikan adalah kebaikan tertinggi. Tapi keinginan (desire)
kita tidak akan sepenuhnya terpuaskan kecuali jika kebahagiaan selalu menjadi
akibat dari setiap kebajikan. Dalam dunia fenomenal ini, adalah mustahil mencapai
kebahagiaan melalui kebajikan. Dari fakta ini—bahwa kebahagiaan berada di luar
pencapaian dalam kehidupan sekarang—muncul keyakinan akan keabadian jiwa
(postulat kedua). Ketiga, karena kita yakin bahwa kebahagiaan mengikuti
kebajikan tentu, keyakinan ini melahirkan kepercayaan akan eksistensi Allah
(postulat ketiga).
3)
Tingkat
intelek / Rasio (Versnunft)
Idea ini sifatnya semacam ‘indikasi-indikasi kabur’,
petunjuk-petunjuk buat pemikiran (seperti juga kata ‘barat’ dan ‘timur’
merupakan petunjuk-petunjuk; ‘timur’ an sich tidak pernah bisa diamati).
Tugas intelek adalah menarik kesimpulan dari pernyataan-pernyataan pada tingkat
dibawahnya, yakni akal budi(Verstand) dan tingkat pencerapan indrawi ().
Dengan kata lain, intelek dengan idea-idea argumentatif.
Kendati Kant
menerima ketiga idea itu, ia berpendapat bahwa mereka tidak bisa diketahui
lewat pengalaman. Karena pengalaman itu, menurut kant, hanya terjadi di dalam
dunia fenomenal, padahal ketiga Idea itu berada di dunia noumenal (dari noumenan
= “yang dipikirkan”, “yang tidak tampak”, bhs. Yunani), dunia gagasan,
dunia batiniah. Idea mengenai jiwa, dunia dan Tuhan bukanlah
pengertian-pengertian tentang kenyataan indrawi, bukan “benda pada dirinya
sendiri” (das Ding an Sich).[8]
2.
Kritik atas Rasio Praktis
Apabila kritik
atas rasio murni memberikan penjelasan tentang syarat-syarat umum dan mutlak
bagi pengetahuan manusia, maka dalam “kritik atas rasio praktis” yang
dipersoalkan adalah syarat-syarat umum dan mutlak bagi perbuatan susila. Kant
coba memperlihatkan bahwa syarat-syarat umum yang berupa bentuk (form)
perbuatan dalam kesadaran itu tampil dalam perintah (imperative). “Kesadaran”
demikian ini disebut dengan “otonomi rasio praktis” (yang dilawankan dengan
heteronomi). Perintah tersebut dapat tampil dalam kesadaran dengan dua cara,
subyektif dan obyektif. Maxime (aturan pokkok) adalah pedoman subyektif bagi
perbuatan orang perseorang (individu), sedangkan imperative (perintah)
merupakan azas kesadaran obyektif yang mendorong kehendak untuk melakukan perbuatan.
Imperatif berlaku umum dan niscaya, meskipun ia dapat berlaku dengan bersyarat
(hypothetical) atau dapat juga tanpa syarat (categorical). Imperative kategorik
tidak mempunyai isi tertentu apapun, ia merupakan kelayakan formal (=sollen).
Menurut Kant, perbuatan susila adalah perbuatan yang bersumber pada kewajiban
dengan penuh keinsyafan. Keinsyafan terhadap kewajiban merupakan sikap hormat
(achtung). Sikap inilah penggerak sesungguhnya perbuatan manusia.
Kant, pada
akhirnya ingin menunjukkan bahwa kenyataan adanya kesadaran susila mengandung
adanya praanggapa dasar. Praanggapan dasar ini oleh Kant disebut “postulat
rasio praktis”, yaitu kebebasan kehendak, immortalitas jiwa dan adanya Tuhan.
Hukum susila merupakan tatanan kebebasan, karena hanya dengan mengikuti hukum
susila orang menghormati otonomi kepribadian manusia. Kebakaan jiwa merupakan
pahala yang niscaya diperoleh bagi perbuatan susila, karena dengan keabadian
jiwa bertemulah ‘kewajiban’ dengan kebahagiaan, yang dalam kehidupan di dunia
bisa saling bertentangan. Pada gilirannya, keabadian jiwa dapat memperoleh
jaminan hanya dengan adanya satu pribadi, yaitu Tuhan, namun, sekali lagi,
harus dipahamai bahwa postulat itu tidak mempunyai pengetahuan teoritis.
Menerima ketiga postulat tersebut Kant menyebutnya kepercayaan (“Glube”).
Pemikiran etika
ini, menjadikan Kant dikenal sebagai pelopor lahirnya apa yang disebut dengan
“argument moral” tentang adanya Tuhan, sebenarnya, Tuhan dimaksudkan sebagai
postulat. Sama dengan pada rasio murni, dengan Tuhan, rasio praktis ‘bekerja’
melahirkan perbuatan susila.[9]
3.
Kritik atas daya pertimbangan
Dimaksudkan oleh Kant, adalah
mengerti persesuaian kedua kawasan itu. Hl itu terjadi dengan mengunakan konsep
finalitas atau tujuan. Finalitas bisa bersifat subjektik atau obyektif. Kalau
finalitas bersifat subjektif, manusia mengarahkan objek pada diri manusuia sendiri inilah yang terjadi dalam
pengalan estestis (kesenian). Dengan finalitas yang bersifat objektif di
maksudakan adalah keselarasan satu sama lain dari benda-benda.[10]
Pertimbangan ada dua
macam: a) Pertimbangan analitik, menganalisis suatu idea tanpa menambah sesuatu
yang baru baginya. b) Pertimbangan sintetik, memperluas subjek dan menambah
pengetahhuan baginya. Tidak setiap pertimbangan secara pasti merupakan
pengetahuan ilmiah. Suatu pertimbangan bagi pengetahuan ilmiah harus benar,
menghasilkan kemestian dan universalitas. Suatu pertimbangan yang semata mata
berdasarkan pada pengalaman, tidak dapat merupakan pengetahuan ilmiah, ini
adalah pertimbangan a posteriori. Untuk menjadi ilmiah, suatu pertimbangan
harus mendasarkan pada dasar rasional, berakar pada akal (maupun pengamatan),
pertimbangan ini harus a priori. Dengan demikian, pengetahuan adalah
pertimbangan sintetik yang a priori.
BAB III
PENUTUP
Hasil penelitian ini adalah bahwa epistemologi kritisisme
yang bermaksud memugar sifat obyektifitas pengetahuan. Yakni mengkritik
validitas ilmu pengetahuan, menguji operasionalitasnya dan menentukan
batas-batas ilmu pengetahuan itu sendiri. sehingga Kant mengemukakan bahwa
pengetahuan seharusnya bersifat sintesis a priori yakni, putusan-putusan
yang sekalipun sintesis namun tidak tergantung dari pengalaman. Ada tiga pokok
bahasan dalam kritisisme Imanuel Khan
yaitu Kritik
atas Rasio Murni, Kritik atas Rasio
Praktis Kritik atas daya pertimbangan. Untuk
mencapai pengetahuan yang sintesis a priori, menurut Kant ada tiga tahapan
pengenalan dari yang terendah sampai yang tertinggi yakni pengenalan inderawi,
akal budi dan budi atau intelek.
Kritisisme Immanuel Kant sebenarnya telah memadukan
dua pendekatan dalam pencarian keberadaan sesuatu yang juga tentang kebenaran
substansial dari sesuatu itu. Kant seolah-olah mempertegas bahwa rasio tidak
mutlak dapat menemukan kebenaran, karena rasio tidak membuktikan, demikian pula
pengalaman, tidak dapat dijadikan melulu tolak ukur, karena tidak semua
pengalaman benar-benar nyata, tapi “tidak-real”, yang demikian sukar untuk
dinyatakan sebagai kebenaran. Melalui pemahaman tersebut, rasionalisme dan
empirialisme harusnya bergabung agar melahirkan suatu paradigm baru bahwa
kebenaran empiris harus rasional sebagaimana kebenaran rasional harus empiris.
Demikianlah makalah ini disusun dengan harapan
bermanfaat bagi khalayak banyak. Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan petunjuk dan hidayah-Nya sehingga makalah ini dapat terselesaikan.
Demi kesempurnaan makalah selanjutnya, saran dan kritik yang konstruktif sangat
kami harapkan.
Daftar Pustaka
Ahmad tafsir, Filsafat
Umum, cet.ke-15, Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2007.
Akh. Minhaji, Strategies
For Social Research:The Methodological
Imagination In Islamic Studies(Yogyakarta: Suka-press, 2009.
Asmoro ahmadi, Filsafat
Umum, Jakarta: Rajawali Press, 2005.
Kamus besar
bahasa Indonesia pusat bahasa, IV,
Jakarta: Gramedia, 2013,
Lilik
Indriarini, Immanuel Kant tk:tt
Mohammad Muslih, Filsafal Ilmu: Kajian Atas
Asumsi Dasar Pradigma dan Kerangka Teori Ilmu pengetahuan, Yogyakarta: Belukar, 2010.
Rizal Mustansyi, Filsafat
Analitik, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001.
0 komentar:
Posting Komentar