About Template

Jumat, 24 Februari 2017



BAB I
PENDAHULUAN
A.           Latar Belakang Masalah
Menurut kata filsafat berasal dari kata yunani filosifia, yang berasal dari kata kerja  filosofein yang berarti mencintai kekebijaksanaan. Perkembangan filsafat tidak dapat dipisahkan dengan perkembangan (ilmu) pengetahuann yang munculnyapada masa peradaban Kuno (massa Yunani).
Berdasarkan periodasi terdapat corak pemikiran yang dilihat dari masa atau waktu. Pertama masa yunani dilihat dari kearah pemikiran pada alam semesta, corak pemikirannya disebut kosmosentri, kedua adalah zaman adab pertengahan corak pemikirannya kefilsafatanya bersifat teosentri, dimana pemikirannya dipengaruhi oleh agama pemecahan semua persoalan berdasarkan atas dogma agama oleh kepercayaan kristen.  Ketiga, adalah zaman Abad Modern, para filosof zaman ini menjadikan manusia sebagai pusat analisis filsafat, maka corak filsafat zaman ini lazim disebut antroposentris. Filsafat Barat modern dengan demikian memiliki corak yang berbeda dengan filsafat Abad Pertengahan. Letak perbedaan itu terutama pada otoritas kekuasaan politik dan ilmu pengetahuan. Jika pada Abad Pertengahan otoritas kekuasaan mutlak dipegang oleh Gereja dengan dogma-dogmanya, maka pada zaman Modern otoritas kekuasaan itu terletak pada kemampuan akal manusia itu sendiri. Manusia pada zaman modern tidak mau diikat oleh kekuasaan manapun, kecuali oleh kekuasaan yang ada pada dirinya sendiri yaitu akal. Kekuasaan yang mengikat itu adalah agama dengan gerejanya serta Raja dengan kekuasaan politiknya yang bersifat absolut.
 keempat adalah masa abad dewasa ini (filsafat abad modern)Keempat, adalah Abad Kontemporer dengan ciri pokok pemikiran logosentris, artinya membahas tentang cara berfikir untuk mengatur pemakaian kata – kata atau istilah yang menimbulkan kerancuan, sekaligus dapat menunjukkan bahaya – bahaya yang terdapat di dalamnya, karena bahasa menjadi objek terpenting dalam pemikiran bahasa. Dengan penulis ingin mengembangkan salah satu pemikiran filsafat yaitu mengenai kritisisme yang merupakan filasafat yang timbul akibat pertentang antara rasionalisme dengan empirisme.
Kritisisme sendiri merupakan salah satu aliran dari filsafat pengetahuan (epistemologi) yang dicetuskan oleh Immanuel Kant, seorang tokoh filosuf Barat abad modern. Epsitemologi Kritisisme Immanuel Kant merupakan filsafat pengetahuan kritisisme yang diintrodusir oleh Immanuel Kant, seorang filsuf Barat abad modern. Wacana epistemologi dalam literatur Barat merupakan wacana yang sangat krusial dari zaman dahulu hingga sekarang, dan sangat menarik untuk dikaji serta dapat membuka perspektif baru dalam kajian ilmu pengetahuan yang multi-dimensional, sehingga tema makalah  ini patut dibahas.

B.            RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar balakang yang telah diuraikan diatas, maka rumusan masalah pada makalah ini sebagai berikut :
1.             Apakah pengertian Kritisisme ?
2.             Apa macam-macam  dan ciri-ciri dari kritisisme

C.           TUJUAN MASALAH
Berdasakan masalah diatas, maka tujuan dari penulisan makalah ini adalah :
1.             Untuk memahami pengertian Kritisisme
2.             Untuk memahami macam-macam dan ciri-ciri dari kritisisme
D.           MAMFAAT
            Makalah ini diharapkan dapat bermamfaat untuk mengatahui dan memberikan gambaran mengenai kritisisme dan macam-macam dan ciri-ciri dari kritisisme



BAB II
PEMBAHASAN
A.                     Pengertian Kritisisme

Kritisisme berasal dari kata kritika  yang merupakan kata kerja dari krinein yang artinya  memeriksa dengan teliti, menguji, membeda-mbedakan. Dalam Bahasa Indonesia, kritis yaitu sifat tidak percaya atau bersifat selalu berusaha untuk menemukan kesalahan atau kekeliruan.[1] Isme yaitu sufiks pembentuk nomina sistem kepercayaan berdasarkan politik, sosial ekonomi.[2] Adapun pengetian yang lebih lengkap adalah penetahuan yang memeriksa dengan teliti, apakah pengetahuan itu sesuai dengan realita dan bagaimanakah kesesuainya dengan kehidupan.
Kritisisme adalah filsafat yang memulai perjalannya dengan terlebih dahulu menyelidiki kemampuan kritik atas rasio murni, lalu kritik atas rasio praktis, dan terakhir adalah kritik atas daya pertimbangan.[3]
Aliran kritisisme ini muncul pada abad ke – 18. Suatu zaman dimana sesorang ahli berpikir yang cerdas mencoba menyelesaikan pertentangan antara rasionalisme dan empirisme. Pada zaman ini disebut zaman pencerahan (Aufklarung) dimana manusia lahir dalam keadaan belum dewasa setelah  Kant mengedakan penyelidikan ( Kritik ) terhadap peran pengetahuan akal. Dimana manusia melihat adanya kemajuan ilmu pengetahuan (ilmu pasti, biologi, filsafat dan  sejarah) mencapai hasil yang mengembirakan dan disisi lain jalannya filsafat tersendat sendat. Untuk itu filsafat dapat berkembang sejajar dengan ilmu pengetahuan alam. Isaac Newton ( 1642 – 1727 ) memberikan dasar berfikir yang induksi yaitu pemikiran yang titik bertolak pada gejala gejala dan pengembalikan kepada dasar – dasar yang bersifatnya umum. Dan dijerman pertentangan antara rasionalisme dan empirisme semakin berlanjut.
Menurut seorang ahli pikir jerman Immanuel Kant (1724 – 1804 ) ingin mencoba permasalahan dan memahami secara arti dari kedua aliran tersebut maka ia mengakui kebenaran ilmu dan dengan akal manusia akan dapat mencapai kebenaran. [4]
Dengan demikian akhirnya, Kant mengakui peranan akal dan keharusan empiri, sehingga diadakan sitensis. Walau pengetahuan bersumber pada akal (Rasionalisme ), tetapi adanya pengertian timbul dari benda (empirisme). Ibarat burung harus mempunyai sayap (rasio) dan udara (empiri).   
Maka kita dapat menyimpulkan bahwa Pendirian aliran rasionalisme dan Emperisme sangat bertolak belakang. Rasionalisme berpendirian bahwa rasiolah sumber pengalan/pengetahuan, sedang Empirisme sebaliknya berpendirian bahwa pengalamanlah yang menjadi sumber tersebut.
Imanuel Kant (1724-1804 M) berusaha mengadakan penyelesaian atas pertikaian itu dengan filsafatnya yang dinamakan Kritisisme (aliran yang kritis). Jadi metode berpikirnya metode Kritis walaupun ia mendasarkan diri yang ringgi dari akal tetapi ia titak mengingkari adanya persoalan persoalan yang melampaui akal. Karena itu iirasionalitas dari kehidupan dapat diterima dari kenyataannya.

B.      Macam-Macam dan Ciri-Ciri Dari Kritisisme
Adapun kritisisme dibagi menjadi tiga, antara lain sebagai berikut:
1.      Kritik atas Rasio Murni
Kant menjelaskan bahwa ciri pengetahuan adalah bersifat umum, mutlak dan memberi pengertian baru. Untuk itu ia terlebih dulu membedakan adanya tiga macam putusan, yaitu:
a.         Putusan analitis apriori; kebenaran yang dijadikan sandaran sudah ada dan menjadi titik pangkal,[5] dimana predikat tidak menambah sesuatu yang baru pada subjek, karena sudah termuat di dalamnya (misalnya, setiap benda menempati ruang).
b.        Putusan sintesis aposteriori,
Yakni hal yang menjadi titik tolak tergantung adanya dari yang dicari: analisis atau reduksi struktural, induksi,dan  regresi.[6]  Apesteriori menurut istilah adalah menunjukkan sejenis pengetahuan yang dapat dicapai hanya dari pengalaman, maka dari itu pengetahuan dapat dirumuskan hanya setelah observasi dan eksperimen. Lawan dari a priori. Apriori digunakan, kontras dengan aposteriori, unutk mengacu kepada kesimpulan-kesimpulan yang diasalkan dari apa yang sudah ditentukan, dan bukan dari pengalaman. Apriori berarti tidak bergantung pada pengalaman inderawi. Kant sebenarnya meneruskan perjuangan Thomas Aquinas yang pernah melakukannya. Kant sendiri semula berpegang teguh kepada rasionalisme, karena dia adalah orang Jerman yang semula memegang teguh tentang ajaran rasionalisme. Namun ia juga tertarik tentang empirisme yang dikembangkan oleh David Hume seorang filosof Inggris. Dan sejak itulah kant merasa bahwa rasionalisme dan empirisme dapat digabungkan dan merupakan sebuah bagian yang dapat melengkapi satu sama lain.
Misalnya pernyataan “meja itu bagus” di sini predikat dihubungkan dengan subjek berdasarkan pengalaman indrawi, karena dinyatakan setelah (=post, bhs latin) mempunyai pengalaman dengan aneka ragam meja yang pernah diketahui.
c.         Putusan sintesis apriori; Putusan ini memang mengandung suatu kepastian dan berlaku umum. Sedangkan pengetahuan yang dihasilkan aliran empirisme tercermin dalam putusan Sintetik-Aposteriori . Yang sifatnya tidak tetap. Kant memadukan keduanya dalam suatu bentuk putusan yang Sintetik-Apriori. Disini dipakai sebagai suatu sumber pengetahuan yang kendati bersifat sintetis, namun bersifat apriori juga. Misalnya, putusan yang berbunyi “segala kejadian mempunyai sebabnya”. Di dalam putusan ini, akal budi dan pengalaman indrawi dibutuhkan serentak. Cara kita untuk mendapatkan putusan Sintetik-Apriori, menurut Kant, syarat rasio untuk dapat mencapai tahap rasionalitasnya yakni melewati tiga tahap.[7] Yaitu Tiga tingkatan pengetahuan manusia, yaitu:
1)             Tingkat Pencerapan Indrawi (sensibility)
Unsur apriori, pada taraf ini, disebut Kant dengan ruang dan waktu. Dengan unsur apriori ini membuat benda-benda objek pencerapan ini menjadi ‘meruang’ dan ‘mewaktu. Pada taraf sensibility apa yang ditangkap yakni sebagai penampakan (phenomenon) sudah merupakan paduan antara unsur materi (unsur a posteriori) dan forma ruang-waktu (unsur a priori). Adapun data-data indrawi yang diperoleh dari sensibility kemudian diolah menjadi pengetahuan―ini berlangsung pada taraf understanding. Understanding tampil dalam bentuk putusan (judgment). Pada putusan itu terjadi sintesis antara unsur a posteriori dan a priori. Putusan: “Jika air dipanaskan sampai suhu 100ºC maka akan mendidih” merupakan sintesis antara unsur a posteriori dan a priori. Yang memainkan peran sebagai unsur a posteriori adalah elemen-elemen pengalaman: “api membakar bejana berisi air”, “suhu itu sampai 100º C”, “lalu air mendidih”; sementara yang memainkan peran sebagai unsur a priori dalam putusan tersebut adalah kategori kausalitas (jika-maka) yang terdapat dalam akal-budi (understanding). Alih-alih empirisme mementingkan pengetahuan a posteriori dan rasionalisme mementingkan pengetahuan a priori, lewat filsafat Kant pengetahuan merupakan sintesis antara dua unsur tersebut. Tegasnya, melalui pemikiran Kant kita dapat melihat bahwa pengetahuan kita tegak dengan dasar “dua kaki”: yakni unsur a priori yang ada di akal-budi dan data-data indrawi yang kita peroleh dari pengalaman (unsur a posteriori). Akal-budi tanpa pengalaman adalah kosong, pengalaman tanpa akal-budi adalah hampa.
2)             Tingkat Akal Budi (Verstand)
Bersamaan dengan pengamatan indrawi, bekerjalah akal budi secara spontan. Tugas akal budi adalah menyusun dan menghubungkan data-data indrawi, sehingga menghasilkan putusan-putusan. Pengetahuan akal budi baru dieroleh ketika terjadi sintesis antara pengalaman inderawi tadi dengan bentuk-bentuk apriori yang dinamai Kant dengan ‘kategori’, yakni ide-ide bawaan yang mempunyai fungsi epistemologis dalam diri manusia. Dalam  investigasi ini Kant berpendapat bahwa ada tiga postulat yang membangun moralitas, yaitu, kebebasan, keabadian jiwa, dan Allah. Inilah tiga realitas tertinggi dari filsafat tradisional, dan Kant, yang telah menyangkal kemampuan kita untuk mencapai mereka melalui pengetahuan teoritis, percaya bahwa ia bisa menegaskan eksistensi mereka melalui akal budi praktis. Pertama, Kant mengamati bahwa kehendak bersifat independen dari semua daya pikat yang berasal dari dunia fenomenal. Alasannya karena kehendak bersifat otonom. Kehendak tidak bisa bersifat demikian jika dia ditentukan atau dikondisikan oleh mekanisme kausal. Oleh karena itu, kehendak adalah bebas (postulat pertama).  Kedua, Kant mengamati bahwa kebajikan adalah kebaikan tertinggi. Tapi keinginan (desire) kita tidak akan sepenuhnya terpuaskan kecuali jika kebahagiaan selalu menjadi akibat dari setiap kebajikan. Dalam dunia fenomenal ini, adalah mustahil mencapai kebahagiaan melalui kebajikan. Dari fakta ini—bahwa kebahagiaan berada di luar pencapaian dalam kehidupan sekarang—muncul keyakinan akan keabadian jiwa (postulat kedua). Ketiga, karena kita yakin bahwa kebahagiaan mengikuti kebajikan tentu, keyakinan ini melahirkan kepercayaan akan eksistensi Allah (postulat ketiga).
3)             Tingkat intelek / Rasio (Versnunft)
Idea ini sifatnya semacam ‘indikasi-indikasi kabur’, petunjuk-petunjuk buat pemikiran (seperti juga kata ‘barat’ dan ‘timur’ merupakan petunjuk-petunjuk; ‘timur’ an sich tidak pernah bisa diamati). Tugas intelek adalah menarik kesimpulan dari pernyataan-pernyataan pada tingkat dibawahnya, yakni akal budi(Verstand) dan tingkat pencerapan indrawi (). Dengan kata lain, intelek dengan idea-idea argumentatif.
Kendati Kant menerima ketiga idea itu, ia berpendapat bahwa mereka tidak bisa diketahui lewat pengalaman. Karena pengalaman itu, menurut kant, hanya terjadi di dalam dunia fenomenal, padahal ketiga Idea itu berada di dunia noumenal (dari noumenan = “yang dipikirkan”, “yang tidak tampak”, bhs. Yunani), dunia gagasan, dunia batiniah. Idea mengenai jiwa, dunia dan Tuhan bukanlah pengertian-pengertian tentang kenyataan indrawi, bukan “benda pada dirinya sendiri” (das Ding an Sich).[8]
2.        Kritik atas Rasio Praktis
Apabila kritik atas rasio murni memberikan penjelasan tentang syarat-syarat umum dan mutlak bagi pengetahuan manusia, maka dalam “kritik atas rasio praktis” yang dipersoalkan adalah syarat-syarat umum dan mutlak bagi perbuatan susila. Kant coba memperlihatkan bahwa syarat-syarat umum yang berupa bentuk (form) perbuatan dalam kesadaran itu tampil dalam perintah (imperative). “Kesadaran” demikian ini disebut dengan “otonomi rasio praktis” (yang dilawankan dengan heteronomi). Perintah tersebut dapat tampil dalam kesadaran dengan dua cara, subyektif dan obyektif. Maxime (aturan pokkok) adalah pedoman subyektif bagi perbuatan orang perseorang (individu), sedangkan imperative (perintah) merupakan azas kesadaran obyektif yang mendorong kehendak untuk melakukan perbuatan. Imperatif berlaku umum dan niscaya, meskipun ia dapat berlaku dengan bersyarat (hypothetical) atau dapat juga tanpa syarat (categorical). Imperative kategorik tidak mempunyai isi tertentu apapun, ia merupakan kelayakan formal (=sollen). Menurut Kant, perbuatan susila adalah perbuatan yang bersumber pada kewajiban dengan penuh keinsyafan. Keinsyafan terhadap kewajiban merupakan sikap hormat (achtung). Sikap inilah penggerak sesungguhnya perbuatan manusia.
Kant, pada akhirnya ingin menunjukkan bahwa kenyataan adanya kesadaran susila mengandung adanya praanggapa dasar. Praanggapan dasar ini oleh Kant disebut “postulat rasio praktis”, yaitu kebebasan kehendak, immortalitas jiwa dan adanya Tuhan. Hukum susila merupakan tatanan kebebasan, karena hanya dengan mengikuti hukum susila orang menghormati otonomi kepribadian manusia. Kebakaan jiwa merupakan pahala yang niscaya diperoleh bagi perbuatan susila, karena dengan keabadian jiwa bertemulah ‘kewajiban’ dengan kebahagiaan, yang dalam kehidupan di dunia bisa saling bertentangan. Pada gilirannya, keabadian jiwa dapat memperoleh jaminan hanya dengan adanya satu pribadi, yaitu Tuhan, namun, sekali lagi, harus dipahamai bahwa postulat itu tidak mempunyai pengetahuan teoritis. Menerima ketiga postulat tersebut Kant menyebutnya kepercayaan (“Glube”).
Pemikiran etika ini, menjadikan Kant dikenal sebagai pelopor lahirnya apa yang disebut dengan “argument moral” tentang adanya Tuhan, sebenarnya, Tuhan dimaksudkan sebagai postulat. Sama dengan pada rasio murni, dengan Tuhan, rasio praktis ‘bekerja’ melahirkan perbuatan susila.[9]
3.    Kritik atas daya pertimbangan
Dimaksudkan oleh Kant, adalah mengerti persesuaian kedua kawasan itu. Hl itu terjadi dengan mengunakan konsep finalitas atau tujuan. Finalitas bisa bersifat subjektik atau obyektif. Kalau finalitas bersifat subjektif, manusia mengarahkan objek pada diri manusuia sendiri inilah yang terjadi dalam pengalan estestis (kesenian). Dengan finalitas yang bersifat objektif di maksudakan adalah keselarasan satu sama lain dari benda-benda.[10]
Pertimbangan ada dua macam: a) Pertimbangan analitik, menganalisis suatu idea tanpa menambah sesuatu yang baru baginya. b) Pertimbangan sintetik, memperluas subjek dan menambah pengetahhuan baginya. Tidak setiap pertimbangan secara pasti merupakan pengetahuan ilmiah. Suatu pertimbangan bagi pengetahuan ilmiah harus benar, menghasilkan kemestian dan universalitas. Suatu pertimbangan yang semata mata berdasarkan pada pengalaman, tidak dapat merupakan pengetahuan ilmiah, ini adalah pertimbangan a posteriori. Untuk menjadi ilmiah, suatu pertimbangan harus mendasarkan pada dasar rasional, berakar pada akal (maupun pengamatan), pertimbangan ini harus a priori. Dengan demikian, pengetahuan adalah pertimbangan sintetik yang a priori.











BAB III
PENUTUP
Hasil penelitian ini adalah bahwa epistemologi kritisisme yang bermaksud memugar sifat obyektifitas pengetahuan. Yakni mengkritik validitas ilmu pengetahuan, menguji operasionalitasnya dan menentukan batas-batas ilmu pengetahuan itu sendiri. sehingga Kant mengemukakan bahwa pengetahuan seharusnya bersifat sintesis a priori yakni, putusan-putusan yang sekalipun sintesis namun tidak tergantung dari pengalaman. Ada tiga pokok bahasan dalam  kritisisme Imanuel Khan yaitu Kritik atas Rasio Murni, Kritik atas Rasio Praktis Kritik atas daya pertimbangan. Untuk mencapai pengetahuan yang sintesis a priori, menurut Kant ada tiga tahapan pengenalan dari yang terendah sampai yang tertinggi yakni pengenalan inderawi, akal budi dan budi atau intelek.
Kritisisme Immanuel Kant sebenarnya telah memadukan dua pendekatan dalam pencarian keberadaan sesuatu yang juga tentang kebenaran substansial dari sesuatu itu. Kant seolah-olah mempertegas bahwa rasio tidak mutlak dapat menemukan kebenaran, karena rasio tidak membuktikan, demikian pula pengalaman, tidak dapat dijadikan melulu tolak ukur, karena tidak semua pengalaman benar-benar nyata, tapi “tidak-real”, yang demikian sukar untuk dinyatakan sebagai kebenaran. Melalui pemahaman tersebut, rasionalisme dan empirialisme harusnya bergabung agar melahirkan suatu paradigm baru bahwa kebenaran empiris harus rasional sebagaimana kebenaran rasional harus empiris.
Demikianlah makalah ini disusun dengan harapan bermanfaat bagi khalayak banyak. Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan petunjuk dan hidayah-Nya sehingga makalah ini dapat terselesaikan. Demi kesempurnaan makalah selanjutnya, saran dan kritik yang konstruktif sangat kami harapkan.




Daftar Pustaka
Ahmad tafsir, Filsafat Umum,  cet.ke-15, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007.
Akh. Minhaji, Strategies For Social Research:The  Methodological Imagination In Islamic Studies(Yogyakarta: Suka-press, 2009.
Asmoro ahmadi, Filsafat Umum,  Jakarta: Rajawali Press, 2005.
Kamus besar bahasa Indonesia pusat bahasa, IV,  Jakarta: Gramedia, 2013,
Lilik Indriarini,  Immanuel Kant tk:tt
Mohammad  Muslih, Filsafal Ilmu: Kajian Atas Asumsi Dasar Pradigma dan Kerangka Teori Ilmu pengetahuan, Yogyakarta: Belukar, 2010.
Rizal Mustansyi, Filsafat Analitik, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001.


0 komentar:

Posting Komentar