About Template

Kamis, 18 September 2014


PEREMPUAN SEBAGAI SUBYEK HUKUM
DALAM HUKUM KELUARGA ISLAM
oleh umi salamah

A. Pendahuluan
Peraturan Islam tidak pernah keluar dari nafsu kepentingan pribadi seseorang, ia tidak pernah memutuskan persoalan masyarakat berdasarkan keberpihakan kepada salah satu pihak, ia sebuah agama yang tidak diragukan kebenarannya, tidak ada sama sekali penyimpangan ataupun penyelewengan di dalamnya dan tidak pula pernah menyesatkan. Islam tidak membedakan individu berdasarkan jenis kelamin laki-laki atau perempuan dalam menerapkan hukum. Islam telah melangkah lebih maju dalam persamaan hak antara laki-laki dan perempuan. Sistem hukum Islam sudah menetapkan bahwa perempuan bisa mengatur sumber penghasilan, mendorong pendidikan dan pembangunan perempuan, tidak melarang perempuan untuk mendapatkan beberapa profesi dan jabatan. Hal ini menunjukkan Islam sebagai agama rahmatal lil alamin telah mengakat derajat dan posisi perempuan.
Sebagian ulama memandang perempuan banyak yang dijadikan sebagai makluk nomor dua . Hal ini berdasarkan pemahaman secara harfiah terhadap nash sehingga membuat nilai-nilai dan prinsip serta tujuan kesetaraan menjadi tidak tercapai. Sebagian umat Islam memandang bahwa pendapat ulama konvensional sebagai sesuatu yang baku termasuk masalah perempuan. Hal ini membuat ketimpangan dan menjadi tidak sesuai dengan ajaran Islam sendiri. Munculnya pemahaman seperti ini membuat sebagian orang bertanya apakah ada kesalahan dalam nash atau ada cara memahami nash yang tidak sesuai.
Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan atau convention on the eleminitin of discrimination against women (CEDAW) menetapkan secara universal prinsip-prinsip persamaan hak antara laki-laki dan perempuan. Konvensi menetapkan persamaan hak untuk perempuan, terlepas dari status perkawinan mereka, di semua bidang – politik, ekonomi, sosial, budaya dan sipil. Konvensi mendorong diberlakukannya perundang-undangan nasional yang melarang diskriminasi dan mengadopsi tindakan-tindakan khusus-sementara untuk mempercepat kesetaraan de facto antara laki-laki dan perempuan, termasuk merubah praktek-praktek kebiasaan dan budaya yang didasarkan pada inferioritas atau superioritas salah satu jenis kelamin atau peran stereotipe untuk perempuan dan laki-laki.
Penyusunan makalah ini berangkat dari adanya ketimpangan pemahamn terhadap keberadaan perempuan dalam segala bidang. Akan tetapi penyusun membatasi perempuan sebagai subyek hukum dalam hukum keluarga Islam, yang meliputi posisi perempuan dalam perkawinan, kedudukan perempuan sebagai saksi, dan perempuan dalam menerima waris. Dengan analisis melihat aturan baik dalam perundang-undangan nash, dan pendapat para ulama baik klasik maupun kontemporer. Makalah ini akan menggunakana analisis dari perspektif subyek hukum perempuan. Sehingga streotype, peran, dan posisi yang termarginalkan dapat dihapuskan. Tetapi sebelum menguraikan posisi perempuan dalam perkawinan terlebih dahulu akan dipaparkan bagaimana posisi perempuan sebagai subyek hukum dalam hukum Islam dan hukum positif.
B. Perempuan Sebagai Subyek Hukum
Subjek hukum adalah segala sesuatu yang dapat mempunyai hak dan kewajiban menurut hukum atau segala pendukung hak dan kewajiban menurut hukum. Setiap manusia, baik warga negara maupun orang asing adalah subjek hukum. Jadi dapat dikatakan, bahwa setiap manusia adalah subjek hukum sejak dilahirkan sampai meninggal dunia. Sebagai subjek hukum, manusia mempunyai hak dan kewajiban. Meskipun menurut hukum sekarang ini, setiap orang tanpa kecuali dapat memiliki hak-haknya, akan tetapi dalam hukum, tidak semua orang dapat diperbolehkan bertindak sendiri di dalam melaksanakan hak-haknya itu. Mereka digolongkan sebagai orang yang “tidak cakap” atau “kurang cakap”.
Para filsuf yunani memahami bahwa manusia yang diciptakan oleh Tuhan berdasarkan dua bentuk, yang pertama dengan kebebaasan dan kemerdekaaan, dan yang lain dihukum dalam perbudakan. Amina Wadud dalam tulisannya mengutip pendapat Alvin J Schmidt, pria pada masa tertentu memahami bahwa perempuan sebagai makluk yang inferior dan tidak setara dengan kaum pria. Jika seperti itu bagaimana posisi perempuan sebagai warga negara. Kewarganegaraan selalu berkaitan dengan keseimbangan hak dan kewajiban masyarakat. Seluruh masyarakat memasukkan seluruh warga negara atas dasar kesamaan mutlak tanpa diskriminasi berdasarkan agama maupun jenis kelamin.
Warga negara berhak melaksanakan hak-hak yang berkaitan dengan tindakan hukum seperti berinteraksi, melakukan akad atau perikatan dan lainnya. Batasan untuk bisa bertindak yaitu ketika seseorang sudah cakap hukum. Maksud cakap adalah menurut hukum sudah dinyatakan dewasa. Sedangkan kedewasaan seseorang dipengaruhi oleh umurnya.
1. Perempuan sebagai subyek hukum dalam hukum Islam
Untuk mengetahui bagaimana posisi perempuan dalam sistem hukum yang ada tidak bisa selain dengan ilmu pengetahuan salah satunya dengan pendekatan sejarah sosial dan peraturan baik dalam perundang-undangan, nash ataupun lainnya.
Seorang mukalaf sebagi subyek hukum dalam ushul fikih harus memenuhi 2 kriteria yaitu: mampu memahami dalil pentaklifan dan adanya kelayakan atau ahliyah.
Ahliyah ada dua yaitu ahliyatul wujub dan ahliyatul ada’. Ahliyaul wujub yaitu kelayakan seorang manusia untuk ditetapkan mempunyai hak dan kewajiban, yang mencakup dua keadaan, yaitu seorang mempunyai ahliyatul wujub yang kurang dan ahliyaul wujub yang sempurna. Ahliyatul wujub yang kurang yaitu orang yang menerima hak tetapi tidak dapat dibebani kewajiban,seperti janin dalam kandungan. Ahliyaul wujub yang sempurna yaitu seorang layak dibebani hak dan kewajiban.
Sedangkan ahliyah al-ada’ mempunyai tiga keadaan yaitu pertama sama sekali tidak mempunyai ahliya al-ada’ seperti anak kecil dan orang gila. Yang kedua yaitu kurang ahliyyah al-ada’, orang yang pintar tapi belum baligh (mumayyiz) dan orang yang kurang sempurna akalnya (ma’tuh). Yang ketiga ahliya al-ada’ yang sempurna, yaitu orang yang telah mencapai akil baligh.
Dilihat dari seorang yang dibebani hukum untuk mendapatkan hak dan kewajiban bukanlah berdasarkan jenis kelamin. Tetapi ketetapan mendapatkan hak dan kewajiban itu berdasarkan keadaan seorang sudah baligh dan berakal sehat maka dia dianggap sebagai subyek hukum penuh.
Dari pembahasan di atas tidak ada perbedaan jenis kelamin antara laki-laki dan perempuan setara dalam pemberlakuan hukum. Perempuan dianggap Baligh dalam hukum Islam jika sudah menstruasi atau berumur 15 tahun. Dan ketika sudah baligh dan berakal maka sudah menjadi subyek hukum penuh sehingga bisa melaksanakan hak dan kewajiban.
Perempuan masih dianggap sebagai subyek hukum yang tidak genap. Hal ini karena pemaknaan terhadap teks-teks baik melalui rujukan dhomir, pemaknaan bahasa arab yang masih patriarkal. Saat ini abad ke-20 banyak reformis dari para ulama yang mengkaji syariah dengan representasi perbaduan antara teks dengan realitas yang selalu berubah. Seperti Muhammad Ghozali yang mengkritik kecenderungan penafsiran harfiah dan memandang bahwa hak asasai manusia dan hak-hak perempuan sangat penting dibahas dalam tujuan syariah (maqasidu syariah).
Ulama kontemporer memandang bahwa tujuan maqosid yaitu seperti pendapat yusuf Qardawi tujuan syariat yaitu melestarikan akidah dan harga diri, menyembah Allah Swt, penjernihan jiwa, perbaikan ahlak, pembangunan keluarga, memperlakukan perempuan dengan adil, pembangunan bangsa muslim kuat dan kerjasama antar umat.
Jika dilihat dari kesetaran manusia yaitu dari jenis yang sama antara laki-laki dan perempuan sebagiman dalam an-Nisa>’ (4): 1
      
Bertaqwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari jiwa yang satu...
 ••      
Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan.

Masih banyak lagi ayat Al-Qur’an dan hadis yang menunjukkan bahwa laki-laki dan perempuan sama derajatnya. Sehingga tidak dibenarkan jika dalam Islam perempuan menjadi subyek hukum separuh. Karena perempuan juga subyek hukum penuh seperti halnya laki-laki.
2. Perempuan sebagai Subyek Hukum Menurut PerUndang-Undangan
Peraturan Masalah batasan umur dewasa belum ada keseragaman yang ditentukan oleh pemerintah sebagai pembuat produk hukum. Sehingga muncul berbagai peraturan perundang-undangan yang menentukan sendiri tentang batasan umur dewasa tersebut. Kebanyakan orang menyimpulkann hanya dari ketentuan Pasal 330 KUH Perdata yang menyatakan bahwa :
Batasan dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun, dan tidak lebih dahulu telah menikah.
Sedangkan Kecakapan bertindak Pasal 1330 yang tidak cakap:
1. Belum dewasa
2. Wanita bersuami
3. Mereka yg ditaruh di bawah pengampuan
Kedudukan istri dalam KUHPerdata Pasal 1330 Istri (wanita bersuami) tidak cakap hukum. Ketidakadailan ini dengan adanya Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Pasal 31 kedudukan istri sebagai seorang yang tidak cakap hukum Sudah berubah:
1. Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.
2. Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum.
3. Suami adalah Kepala Keluarga dan isteri ibu rumah tangga.

Hal ini juga berdasarkan CEDAW: “diskriminasi terhadap perempuan” berarti segala pembedaan, pengucilan atau pembatasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin yang mempunyai dampak atau tujuan untuk mengurangi atau meniadakan pengakuan, penikmatan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil atau bidang lainnya oleh perempuan, terlepas dari status perkawinan mereka, atas dasar kesetaraan antara laki-laki dan perempuan.
Jika dibandingkan antara aturan yang ada peraturan yang ada dalam KUHPerdata dan dalam KHI serta UUP No.1Tahun 1974, walaupun masih ada pembagian peran tetapi adanya keseimbangan antara kedudukan laki-laki dan perempuan sehingga masing-masing pihak berhak melakukan perbuatan hukum. Kecuali perbuatan hukum yang berkaitan dengan penggunaan dan pengalihannya harus mendapat persetujuan kedua belah pihak.
Peraturan tentang tidak cakap hukum diuraiankan dalam KHI Pasal 47- Pasal 50 sebagai berikut:
Pasal 47
Seorang memerlukan pengampuan jika gila, masih kecil dan dibawah pengampuan.
(1) Anak yang belum mencapai umur 18 ( delapan belas ) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya.
(2) Orang tua mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan di luar Pengadilan.
Pasal 48
Orang tua tidak diperbolehkan memindahkan hak atau menggandakan barang-barang tetap yang dimiliki anaknya yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, kecuali apabila kepentingan anak itu menghendakinya.
Pasal 49
(1) Salah seorang atau kedua orang tua dapat dicabut kekuasaannya terhadap seorang anak atau lebih untuk waktu yang tertentu atas permintaan orang tua yang lain, keluarga anak dalam garis lurus ke atas dan saidara kandung yang telah dewasa atau pejabat yang berwenang dengan keputusan Pengadilan dalam hal-hal :
a. Ia sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya;
b. Ia berkelakuan buruk sekali.
(2) Meskipun orang tua dicabut kekuasaannya, mereka masih berkewajiban untuk memberi pemeliharaan kepada anak tersebut.
Pasal 50
(1) Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua, berada di bawah kekuasaan wali.
(2) Perwakilan itu mengenai pribadi anak yang bersangkutan maupun harta bendanya.

Dari urain pasal-pasal yang terdapat dalam KHI tersebut tidak membedakan antara anak laki-laki dan anak perempuan. Sebagaimana dalam konvensi tentang hak-hak anak (ICCPR), dikatakan dalam ICCPR, setiap anak yaitu yang manusia berumur kurang dari 18 tahun. Disini tiada pembedaan antara laki-laki dan perempuan. Sehingga ketika sudah mencapai umur 18 tahun baik laki-laki ataupun perempuan dianggap cakap hukum.

C. Perempuan Sebagai Subyek Hukum Dalam Hukum Keluarga
1. Menikahkan dirinya sendiri
Secara umum para pemikir atau intelektual muslim menghendaki keterlibatan dan kehadiran wali dalam perkawinan, tetapi mereka tidak setuju dengan adanya wali ijbar. Karena hak menentukan pasangan atau jodoh merupakan milik pihak yang akan menikah. Persetujuan mempelai dalam perkawinan tidak hanya sekedar persetujuan ketika pada waktu akad nikah tetapi juga sejak awal proses perkawinan.Wali sebagai orang yang berpengalaman diharapkan dapat memberikan saran dan masukan sesuai dengan pengalamanya. Dan wanita dan laki-laki yang yang akan menikah diberikan kebebasan dengan berdasarkan pada saran dan pertimbangan wali. Berkaitan dengan hal tersebut timbul pertanyaan siapakah yang berhak mengawinkan anak perempuan? Apakah wali yang mengucapkan ijab ataukah anak perempuan?
Ada dua pendapat untuk menjawab pertanyaan ini yaitu pertama Imam Abu Hanifah, Abu Yusuf, Zufar,Al-Auza’i, dan Malik Bin Anas menyatakan bahwa wali tidak berhak menikahkan anak perempunnya, baik janda maupun gadis dewasa (sudah baligh dan berakal).
Menurut pendapat kedua yaitu imam syafi’I, Imam Malik Bin Anas riwayat dari Asyhab, Sufyan At-Tausur, Ishaq Bin Rahuyah, Ibnu Syubrumah, dan Ibnu Hazm, berpendapat akad nikah yang diucapkan oleh perempuan baik janda maupun gadis tidak sah.
Dasar hukum adanya wali dalam perkawinan adalah al-Baqarah (2): 221, 230,231,232, 235, 240, ali-Imran (3): 159, dan an-Nisa’ (4): 25, 34, At-Talaq (65): 2, dan disini akan diuraikan sebagian sebagai berikut :
                               •     •      ••  
Dari ayat di atas lafad لاتنكحوا diartikan sebagai fiil mudhari' mabni maklum sehingga dipahami laki-laki tidak memerlukan wali dalam pernikahan karena bermakna “jangan kamu nikahi perempuan musrikin...” . Dan lafad ولاتنكحوا fiil mudhari’ mabni majhul yang berarti “jangan dinikahkan” disini dipahami bahwa perempuan harus dengan wali dalam melaksanakan pernikahan dengan arti” dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman”.dari pemahaman ayat inilah ada yang beranggapan bahwa wali hanya untuk perempuan tidak untuk laki-laki. Dalam ayat lain juga disebutkan:
                                   
Asbabun nuzul turunya ayat ini yaitu dalam suatu riwayat dijelaskan bahwa Muaqqal bin Yasar mengawinkan adik perempuannya dengan seorang laki-laki. Kemudian laki-laki itu menceraikannya. Setelah iddahnya habis, laki-laki tersebut melamarnya kembali dan adik Muaqqal tersebut setuju. Muaqqal berkata kepada laki-laki tersebut” aku telah menikahkan kamu dengannya, kemudian dia kamu ceraikan sekarang kamu ingin kembali padanya. Tidak demi Allah jangan kembali padanya. Akhirnya turunlah ayat yang melarang Muaqqal menghalangi laki-laki tersebut menikah dengan adiknya.
Pendapat Abu Hanifah dalam menafsirkan ayat 232 surah al-Baqarah tersebut itu ditunjukkan kepada suami bukan wali. Dengan demikian menurut mazhab ini kata انتم di-khitobkan pada suami baik yang terdapat pada فلا تعضلوهن atau طلقتم . Wali tidak harus ada dalam pernikahan ini tetapi adanya wali ini lebih utama.
Menurut Engineer, ayat tersebut adalah ayat larangan menghalang-halangi perempuan yang telah ditalak untuk menikah lagi. Ayat ini merupakan jawaban parktek perkawinana ‘adl yang dipraktekkan pada masa jahiliyah, yakni memaksa perempuan untuk tidak kawin lagi.
Perempuan memenuhi syarat ahliyah al wujub dan ahliyah al-ada’ dianggap memiliki kemampuan untuk melakukan tindakan hukum yang berkaitan dengan transaksi. Sehingga logis jika perempuan juga dapat melalukan tindakan yang berkaitan dengan urusan pribadinya. perempuan dalam menentukan jodoh dan melakukan perkawinan termasuk merupakan hak pribadi. Sehingga perkawinan yang ijabnya dilakukan oleh wali, dinyatakan sah apabila sudah mendapatkan izin dari anak perempuan tersebut.
2. Perempuan Sebagai Wali
Berkiatan dengan wali dalam perkawinan ini di Indonesia disebutkan dalam KHI pasal 19-Pasal 23 wali harus laki-laki. Jika dilihat dari subyek hukum bahwa seorang yang sudah kamil ahliyahnya tidak memerlukan wali, maka fungsi wali dalam perkawinan adalah sebagai pembimbing dapatkah perempuan sebgai wali dalam pernikahan.
Untuk menjawab hal ini harus mengetahui esensi dari wali. bukan untuk formalitas tapi wali”al-waly yakni orang yang memiliki penuh cinta, menjaga hak-haknya dan memiliki keadilan menjaga kemaslahatan yang dibawah perwaliannya. Bukan diartikan laki-laki yang harus menjadi wali karena laki-laki yang tidak bertanggung jawab tidak bisa dikatakan sebagai wali.
Dari sini perempuan pun bisa menjadi wali ketika ia memiliki kemmapuan bertindak secara sempurna (Kamilal-ahliyyah). Dengan demikin apa yang terjadi di Indonesia seperti permasalahan laki-laki atau suami dan ayah yang tidak bertanggung jawab sehsrusnya tidak usah menjadi wali bagi anak perempuannya karena sang ibu yang menjaga, mencintai dan bertanggung jawab terhadap anaknya sebenarnya adalah walinya.
Para ulama sepakat bahwa syarat orang untuk menjadi wali yaitu ahliyah al-kamil, yang berarti orang yang dewasa, berakal dan merdeka. Dengan demikian setiap orang baik laki-laki maupun perempuan secara normatif bisa menjadi wali nikah. Yaitu sebagai pembimbing, penasehat pagi calon mempelai untuk kemaslahatan.
3. Perempuan Dalam Rumah Tangga
Persoalan yang terjadi dalam keluarga lebih disebabkan oleh konstruksi sosial dan kultural yang dipahami dan dianut oleh masyarakat yang tidak didasarkan pada asas kesetaraan gender. Pemahaman tentang subyek-obyek, dominan-tidak dominan, superior-imperior serta pembagian peran-peran yang tidak seimbang antara anggota keluarga laki-laki (ayah, anak laki-laki) dan perempuan (ibu, anak perempuan) seringkali memposisikan laki-laki lebih mendapatkan hak-hak istimewa, sedangkan perempuan sebagai kaum kelas kedua. Meskipun pada kelompok masyarakat tertentu (kelas menengah dan berpendidikan, misalnya) relasi yang dibangun antara perempuan dan laki-laki sudah lebih baik, tetapi jika ditelaah lebih jauh, pada sebagian besar kelompok masyarakat lainnya, relasi yang seimbang antara perempuan dan laki-laki masih jauh dari harapan.
Dalam konsep Islam laki-laki dan perempuan adalah ciptaan Allah yang memiliki kedudukan sederajat. Selian memiliki persamaan, juga terdapat perbedaan yang terletak pada faktor biologis yang bersifat kodrat. Perbedaan bersifat kodrati ini membuat keduanya saling membutuhkan karena peran biologis tidak dapat digantikan atau dipertukarkan. Lalu berkaitan dengan kedudukan perempuan dalam keluarga jika mengaca pada Q.S. an-Nisa>’: 34 bagaimanakah sebenarnya kedudukan perempuan dalam keluarga.
Dalam ayat tersebut terlihat kesuperioritasan laki-laki atas perempuan. Kata qowwam sebagaimana yang dipakai oleh ayat tersebut merupakan kata yang digunakan untuk seseorang yang mampu melaksanakan tanggung jawab terhadap sesuatu. Qawwam bentuk mubalaghah sama dengan qayya>m dan qayyam yang berarti orang yang mampu malaksanakan dan menjaga tanggung jawab yang dipikul atau diberikan kepadanya.
Kata rijal sebagiaman yang dikutip oleh Faisol dari Abu Hayyan yaitu orang yang memiliki ketangguhan, atau kelebihan atas yang lain berupa kekuatan, kecerdasan atau lainnya. Sehingga baik laki-laki atau perempuan keduanya disebut rajul sebagaimana ungkapan “ ka>nat A>isyah ra rajlatu al-ra’yi” artinya Aisyah adalah seorang yang tangguh pikirannya.
Relasi istri dan suami dengan adanya pemaham dari ayat di atas bahwa rajul adalah sifat yang dimiliki laki-laki dan perempuan menunjukkan adanya kesetaraan. Sebagaimana dalam al-Baqarah 2:187 bahwa pasangan suami istri adalah ibarat pakaian yang saling melindungi dan menutupi. Ini didukung dengan Al-Baqarah 2:228 bahwa mempunyai hak dan kewajiban yang berimbang, sama dan berkeadilan.
Dalam KUHperdata perempuan sama seklai tidak punya hak untuk melaksanakan tindakan hukum tanpa ijin dari suaminya seperti yang tertuang dalam Pasal 103 dan Pasal 118 terutama yang tertuang dalam pasal 105 dan pasal 106 Perempuan harus tunduk dan patut kepada suami sebagai konsenkuensi pernikahan. istri dianggap tidak cakap hukum sehingga istri tidak boleh melakukan tindakan hukum tanpa bantuan suami.
Kedudukan istri dapat dilihat dalam perundang-undangan di Indonesia pada pasal 30- Pasal 34 UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dan pada Pasal 77- Pasal 84 dalam Kompilasi Hukum Islam. Jika dilihat isi dari UUP dan KHI sudah sudah ada kesetaraan walaupun masih ada pasal yang bias gender seperti suami menjadi kepala rumah tangga dan istri menjadi ibu rumah tangga. Hal ini mengesankan ada peran domestik dan publik padahal dalam kenyataanya saat ini antara suami dan istri semuanya dapat memberikan nafkah sehingga terkadang ada pengalihan kepemimpinan dalam keluarga.
4. Perempuan Sebagai Saksi
Dalam sejarah perkembangan Nabi Muhammad segala kebijakan dan aturan selalu mengarah kepada prinsip kesetaraan gender. Perempuan yang semula tidak diperkenankan menjadi saksi lalu oleh Islam hal tersebut dihapus dan perempuan diberikan hak untuk menjadi saksi. Kesamaan perempuan dan laki-laki terdapat dalam QS. Al- Baqarah 2:228, al-Ahzab: 35 dan berdasarkan hadis Nabi: sesungguhnya Allah tidak melihat tubuh dan rupa kalian. Tetapi Allah melihat kepada hati dan amal perbuatan kalian. Dalam pernyataan Q.S 2: 228 menetapkan formula 2:1 (dua orang wanita menduduki posisi satu orang laki-laki) hal ini berdasarkan kontek ayat diturunkan. Karena kondisi sosiologis pada waktu itu perempuan berada di rumah saja. Al-Qur’an memperhatikan kondisi ini sehingga kesaksian dua orang perempuan itu seimbang dengan seorang laki-laki.
Asghar Ali Engineer memandang bahwa ketika terjadi shifting paradigm (pergeseran paradigma) disebabkan anomali masyarakat konteks zaman sudah berubah, maka pemahaman dan penerapan berubah sesuai dengan perkembangan zaman. Perempuan saat ini sudah berperan dalam publik sehingga kesaksian perempuan dan laki-laki setara.
Ketika persaksian bertujuan sebagai alat bukti maka tidak akan membedakan antara persaksian laki-laki atau perempuan. Agama Islam tidak membeda-bedakan laki-laki dan perempuan termasuk ketika perempuan diminta menjadi saksi. Legalitas kesaksian perempuan dan laki-laki di depan hakim adalah sama. Seperti yang ada dalam peraturan di Indonesia saksi perempuan sudah diakui. Kecuali syarat dan rukun perkawinan dalam KHI saksi harus laki-laki.
5. Perempuan dalam Kewarisan
Monopoli kaum pria atas waris seperti ditunjukkan ayat berikut:
             •      •

Berkaitan dengan An-Nisa>’ ayat 11 Peraturan perempuan mendapat setengah bagian dari laki-laki apakah termausk diskriminatif. Jika ditarik dari asbabun nuzul surah (4):11 itulah keadilan saat itu. Islam menunjukkan pentingnya kesejahteraan bagi perempuan sehingga mereka mendapat waris, sebelum Islam datang yang berhak menerima waris adalah laki-laki.
Menurut Muhammad Sahrur ketika membahas waris tidak bisa lepas dari konsep persamaan seperti persamaan derajat kaum perempuan dan laki-laki dalam kesetaraan derajat pekerjaan dan lainnya dibidang sosial ekonomi dan politik. Ada dua persaman antar laki-laki dan perempuan yaitu persamaan matematis dan persamaan dalam kelompok.
Dari itu ayat-ayat waris diturunkan untuk semua manusia dengan alasan bahwa ayat-ayat tersebut diawali dengan persamaan pada tingkatan pertama. Walupun dalam berkelanjutanya ada pengelompokan pembagian seperti 2:1untuk laki-laki dan perempuan. Dalam memahami teks tidak cukup hanya secara normative dan menerima mentah-mentah hukum yang ada secara lahiriah, tetapi harus dilihat bagaiman esensi dari adanya teks tersebut melalui sosio historisnya.
Sebagaimana pendapat Aljabiri dengan teori irfani Hukum kewarisan Islam normatif dapat saja diganti dengan hukum kewarisan modern yang secara keseluruhan dibawah naungan intelektual manusia. Hal yang sangat penting adalah pesan-pesan keadilan universal hukum Islam dalam rangka merealisasikan kemaslahatan transformatif. Di sini, keadilan dan kemaslahatan –sebagai tujuan utama hukum Islam—dikembangkan secara rasional agar hubungan antar manusia dapat terpelihara dengan baik dengan keadilan yang dipahami manusia secara sosio kultural. Inti hukum inilah yang harus direfleksikan dalam setiap pembentukan hukum. Kelompok ini merasa lebih bebas dan tidak terikat dengan doktrin metode berpikir lama yang dianggap mengikat. Oleh karena itu, formulasi 2:1 sebagaimana disebutkan oleh an-Nisa’ (4): 11, pesan universalnya adalah keadilan dalam membagi warisan. Inilah sebenarnya yang bersifat qath’i, bukan keharusan membagi warisan dengan formulasi 2:1 antara laki dengan perempuan. Dengan demikian keadilan itu bersifat relatif. Sebagaimana kaiadah الصلح سيد الحكام.
Di Indonesia sendiri aturan kewarisan masih mengacu pada nash yang normatif sehingga masih membedakan jenis kelamin sebagaimana KHI Pasal 176:
Anak perempuan bila hanya seorang ia mendapat separoh bagian, bila dua orang atau lebih mereka bersama-sama mendapzt dua pertiga bagian, dan apabila anask perempuan bersama-sama dengan anak laki-laki, maka bagian anak laki-laki adalah dua berbanding satu dengan anak perempuan.

Dalam hal waris sifat equality terdapat pada KUHPerdata pasal 832 yang berhak menerima waris yaitu keluarga sedarah baik yang sah menurut undang-undang atau diluar perkawinan.
Dalam penetapan aturan KHI Menurut KH.Ammar dan KH Jamaluddin bagian anak laki-laki dua kali lipat anak perempuan, ketentuannya dapat berubah, sebab, ketentuan tersebut dilatarbelakangi kodisi social masyarakat Arab ketika turunnya ayat tersebut, sedang menurut ketentuan dasar syariat bahwa kedudukan perempuan setara dengan kedudukan laki-laki, apabila kondisi sosial berubah, maka ketentuan tersebut dapat berubah sesuai dengan perubahan sosial, sesuai dengan kaidah “al-hukmu yaduru ma’al illati wujudan wa adaman” Pada akhirnya keputusan kewarisan tergantung dari hakim yang mengadili dengan melihat perubahan sosial.
D. Penutup
Dari urain tentang wanita sebagai subyek hukum dalam hukum keluarga dapat disimpulkan bahwa Perempuan sama dengan laki-laki baik dalam penciptaan, dihadapan Tuhan, dalam hal penaggungan agama. Selama seorang mempunyai ahliyah al-wujub dan ahliyah al-ada yang sempurna maka ia bisa menjadi subyek hukum yang penuh, tidak memandang apa status dan jenis kelaminnya.
Indonesia sebagai negara yang ikut menyetujui CEDAW sudah saatnya untuk perubah perundang-undangan yang masih banyak mendiskriminasikan perempuan, terutama dalam hukum keluarga. Karena masih banyak pasal-pasal yang bersifat partiarki seperti dalam perkawinan, saksi dalam pernikahan, dan kewarisan.
Wanita adalah tiang negara. Islam berusaha mengangkat terhadap derajat perempuan dengan prinsip-prinsip yang tidak usang karena waktu. Semoga dengan berkembangnya zaman saat ini menjadikan perempuan lebih dihargai dan tidak menjadikan perempuan sebagai makhluk nomor dua. Sebagimana dalam al-Quran disinggung bahwa yang membedakan derajat manusia yaitu tingkatan ketaqwaanya bukan berdasarkan jenis kelaminya.Wallahu a’lam bis shawab













Daftar Pustaka
Amin, Qosim, Sejarah Penindasan Perempuan Menggugat Islam Laki-Laki, Menggugat Perempuan Baru saiful alam(terj) Yogyakarta: IRCiSoD, 2003.
Hendri,” Yuldi Persaksian Dalam Surat Al-Baqarah Ayat 282” Musawa, Vol.8, No.1 2009.
Istibsyaroh, Hak-Hak Perempuan Relasi Gender Menurut Tafsiral-Sya’rawi, cet. ke-1 Jakarta Selatan: TERAJU, 2004.
Khalaf, Abdul Wahab, Ilmu Ushul Al-Fiqh, cet.ke-2 Indonesia: Haraumain, 2004
M. Faisol, Hermeunetika Gender Perempean dalam Tafsir bahr Al-Muhith Malang: UIN-Maliki press, 2011.
Mannan, Moh. Romzi al-Amiri, Fikih Perempuan, cet. Ke-1 Yogyakarta: Pustaka Ilmu, 2011.
Muhammad Syahrur, Metodologi Fikih Islam Kontemporer, Sahiron Samsuddin dan Burhanudin (terj) cet.ke-5 Yogyakarta: eLSAQ, 2008
Muhammad, Husain, Fikih Perempuan Refleksi Atas wacana Agama Dan Gender, Cet. Ke-2 Yogyakarta:LKiS, 2002.
Muhsin, Amina Wadud “Al-Quran dan Perempuan” dalam Wacana Islam Liberal Pemikiran Islam Kontemporertentang Isu-Isu Global, Charles Kurzman (ed.) Jakarta:paramadina, 2001.
Musawa, vol.5,No. 2, April 2007
______vol.8, No.1 Januari 2009
Na’im, An- Abdullah ahmad Dekontruksi Syariah, Ahmad Suaedy dan Amirudin Ar-Rany (terj), Cet.ke-3 Yogyakarta: LkiS, 2001.
Nawawi, Al- Abu Zakaria, Riyadus Al Sha>Lihi>N, Surabaya: Ima>ratullah, TT.
Ningrum Puji Lestari, “Kecakapan Bertindak dalam Melakukan Perbuatan Hukum setelah Berlakunya Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris”, tesis, tidak diterbitkan 2008.
Sukri, Sri Suhandjati, Sekapur Sirih Editor Bias Gender Dalam Pemahaman Islam, Yogyakarta: Gema Media, 2002.
Widaningsih, Lilis, “Relasi gender dalam keluarga: Internalisasi nilai-nilai kesetaraan dalam memperkuat fungsi keluarga” tt.tt
Yusuf, Kadar M., Tafsir Ayat Ahkam Tafsir Tematik Ayat-Ayat Hukum, Jakarta: AMZAH, cet.ke-1, 2011.

0 komentar:

Posting Komentar