About Template

Kamis, 24 November 2011

OTORITERIANISME DAN LIBERALISME DALAM PEMIKIRAN HUKUM ISLAM Makalah ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah filsafat hukum islam Dosen pengampu: Bapak Gatot Suhirman Disusun oleh: 1. Aceng Mumus Muslimin 08250033 2. Qoiriah 08350034 3. Umi Salamah 08350035 4. Agung Dwiyono 08350036 5. Ahmad Zubairi 08350037 6. Muhammad Iqbal Ghozali 08350038 JURUSAN Al-AHWAL AL- SYAKHSIYYAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGJAKARTA 2011 DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL DAFTAR ISI BAB I PENDAHULUAN BAB II PEMBAHASAN 1.Otoriterianisme A. pengertian otoritarisme B. sejarah otoriterianisme C. syarat-syarat Individu atau Lembaga untuk Menjadi Wakil Tuhan 2. Liberalisme A. pengertian Liberalisme B. Sejarah Liberalisme C. Prinsip-Prinsip Etis Islam Liberal D. Metode Pemikiran Islam Liberal 3. Otoriterianisme Dan Liberalisme Dalam Pemikiran Hukum Islam BAB III kesimpulan DAFTAR PUSTAKA BAB I PENDAHULUAN Berfilsafat adalah berfikir. Berfikir selevel dengan membaca. Keduanya memiliki fungsi penting untuk mengantarkan manusia pada ilmu. Ilmu adalah apa-apa yang bersumber dari Al-Quran dan As-Sunnah. Jadi berfilsafat bermanfaat untuk mengantarkan manusia kepada Al-Quran dan As-Sunnah. Insan Kamil atau manusia sejati adalah manusia yang memiliki kesadaran dan kemauan memaksimalkan potensi akal, ruh dan fisiknya secara seimbang untuk membaca setiap pesan Tuhan yang selalu menghampirinya setiap saat. Lalu berupaya menarik makna dan merangkainya menjadi sebuah cerita utuh dari perjalanan panjang dalam mematangkan jiwa. Tapi kita melihat pada zaman sekarang ini, akal berperan terlalu penuh dan mengambil peran yang sangat banyak sehinggga terkadang terjadi sesuatu yang yang bertentangan antara wahyu dan akal, sehingga memaknai Al-Qur’an dan As-Sunnah pun nantinya akan berbeda, dan nantinya hal ini akan memberikan sudut pandang yang berbeda, ada yang memiliki faham yang mengabsahkan tindakan menggunakan kekuasaan Tuhan yang dilakukan seseorang, kelompok atau institusi untuk menyatakan bahwa pandangan keagamaannya (tafsir atas teks suci) paling benar dan itulah yang sebenarnya dikehendaki Tuhan. Sementara interpretasi yang dikemukakan pihak lain dianggap salah dan bukan kehendak Tuhan atau bahkan pada titik tertentu dituding sesat dan menyesatkan yang biasa disebut dengan faham otoritarianisme. Sedangkan disisi lain terdapat faham liberalisme adalah pembebasan Islam yakni memberikan ruang untuk berpikir bebas. Otoritarianisme dan liberalisme dalam hukum Islam memiliki peran dan fungsi tersendiri dalam sejarahnya. Berikut ini kami akan jelaskan tentang pengertian dari otoritarieanisme dan liberalisme, sejarah otoritarianisme dan liberalisme dalam kaitannya dengan sejarah pemikiran hukum Islam. dan kemudian peran dari otoritarianisme dan liberalisme dalam pemikiran hukum Islam. BAB II PEMBAHASAN 1. Otoriterianisme A. Pengertian otoriterianisme Otoritarianisme adalah faham yang mengabsahkan tindakan menggunakan kekuasaan Tuhan yang dilakukan seseorang, kelompok atau institusi untuk menyatakan bahwa pandangan keagamaannya (tafsir atas teks suci) paling benar dan itulah yang sebenarnya dikehendaki Tuhan. Sementara interpretasi yang dikemukakan pihak lain dianggap salah dan bukan kehendak Tuhan atau bahkan pada titik tertentu dituding sesat dan menyesatkan. B. Sejarah otoriterianisme Semua agama, sebagaimana semua kelompok sosial dan politik, memiliki proses atau metode untuk menciptakan dan menentukan otoritas. Otoritas bisa bersifat formal atau informal. Namun, dalam keduanya otoritas menentukan apa yang resmi, formal dan mengikat bagi orang yang berada dalam wilayah otoritas tersebut. Secara mendasar, otoritas menentukan apa yang bisa dijadikan sandaran dan apa yang seyogyanya diikuti. Dalam konteks Islam, kepada para penganutnya, pemegang otoritas mengomunikasikan apa yang dapat disepakati, apa yang dapat diterima, dan apa yang mengikat, serta apa yang secara formal dipandang sebagai bagian dari agama mereka Dalam hukum Islam, muncul persoalan utama yaitu pertanyaan tentang siapakah yang paling otoritatif dalam memutuskan sebuah hukum dalam Islam. Dalam Islam, peranan teks (nash) memegang posisi yang sangat sentral. Teks yang dimaksud adalah Al-Quran dan Hadits. Sentralnya posisi teks dalam kehidupan umat Islam tersebut berangkat dari asumsi bahwa tekslah satu-satunya penjelas yang paling otoritatif. Teks diyakini merupakan jejak dari pemegang otoritas tertinggi (supreme authority), yakni Tuhan dan Muhammad sebagai rasul-Nya. Pada masa Nabi masih hidup, memang diakui bahwa beliaulah yang diakui sebagai suara otoritatif yang mewakili kehendak Tuhan. Ia dinilai sebagai penerima wahyu yang pertama sehingga secara efektif berperan sebagai pemegang otoritas. Setelah Nabi wafat, masyarakat muslim paling awal mengalami kemelut paling serius tentang siapakah pemegang legitimasi dan otoritas yang paling berwewenang. Kejadian itu juga muncul setelahnya, dan itu masih terasa hingga hari ini. Mau tidak mau, akhirnya yang bermain adalah interpretasi manusia dalam memahami dan menetapkan hukum Islam dengan jalan menyesuaikannya menurut kondisi dan zamannya masing-masing. Sampai di sini kita tidak menuai persoalan. Persoalan itu baru muncul ketika kita dihadapkan pada kenyataan bahwa teks yang otoritatif pada dirinya sendiri ternyata tidaklah jelas begitu saja. Kita setidaknya berhadapan dengan dua permasalahan. Pertama, teks tidak berbicara pada kita tentang apa makna yang dikandungnya. Teks tidak pernah jadi wasit dengan datang dan memberikan keterangan tentang makna hakiki yang dikandungnya ketika antara dua orang ulama terlibat perdebatan untuk menentukan makna apa yang dimaksud oleh teks tersebut. Teks, misalkan, tidak pernah mengutarakan bahwa makna dari kata “yad” adalah “tangan” dan bukan “kekuasaan”. Makna dari sebuah teks pada ujungnya selalu ditentukan oleh pembaca (manusia). Dalam bahasa Imam Ali, “Alquran hanyalah tulisan dintara dua sampul. dia tidak bisa berbicara. (agar bisa bersuara) Alquran perlu penafsir, dan si penafsir itu adalah manusia”. Teks tersebut haruslah diungkapkan melalui perantara pembaca (manusia) Kedua, apakah seorang manusia, ketika dia membaca teks yang otoritaf pada dirinya tersebut, lantas serta merta mempunyai klaim bahwa apa yang diungkapkannya juga otoritatif. Kita dihadapkan pada fakta bahwa yang otoritatif pada dirinya sendiri adalah teks. Namun, yang otoritatif pada dirinya sendiri itu hanya mungkin bermakna dan berarti sejauh teks itu dibaca oleh manusia. Manusia lantas menjadi penentu, sementara, sebagaimana kita lihat dalam hirarki otoritas, akal manusia, melalui ijtihadnya, menempati posisi yang lebih rendah ketimbang posisi teks. Dan manusia pada dirinya sebenarnya tidaklah memiliki otoritas sama sekali. Namun, ungkapan Imam Ali sebagaimana tersebut di atas dapat pula dijadikan sebagai indikasi bahwa posisi teks (nash) dan pembaca adalah sejajar dan sama-sama penting. Dalam sejarah peradaban Islam, dampak otoritarianisme berulangkali terjadi menimpa ulama dan intelektual. Imam Ahmad bin Hanbal (pendiri mazhab fikih Hanbali) mengalami penyiksaan oleh khalifah Al-Ma’mun karena memiliki pandangan yang berbeda dengan teologi yang dianut negara saat itu. Negara berpandangan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk sementara Imam Ahmad bin Hanbal berpandangan bahwa Al-Qur'an bukan makhluk. Ibnu Rusyd (seorang tokoh filsafat Islam) diasingkan dan karya-karyanya dimusnahkan pada masa Khalifah Al-Manshur karena dianggap menyimpang dari syariat Islam dan lebih mengedepankan rasionalisme. Abu Manshur Al-Hallaj (seorang tokoh tasawuf falsafi) mendapatkan hukuman mati karena mengajarkan doktrin wadhatul wujud (pantheisme) yang dianggap bertentangan dengan ajaran Islam. Kasus di atas memiliki akar persoalan yang sama. Yaitu berkaitan dengan ide yang dianggap bertentangan atau melanggar kemapanan doktrin yang sudah ada kemudian disikapi dengan pelarangan atas nama agama, baik yang dilakukan negara atau kelompok masyarakat. Argumentasi yang biasa dikemukakan untuk melakukan pelarangan pun tidak mengalami perubahan dari masa ke masa. Tidak jauh dari tuduhan merusak akidah, mengingkari prinsip-prinsip agama, melecehkan ajaran-ajaran agama, bertentangan dengan al-Qur'an dan Sunnah, atau yang paling parah adalah membungkus kesesatan dengan Ayat-ayat Al-Qur'an dan menjadi agen kelompok non Muslim sebagai upaya untuk menghancurkan Islam dari dalam. Seperti Al-Ma’mun saat memutuskan untuk menyiksa Imam Ahmad bin Hanbal menyatakan bahwa Imam Ahmad bin Hanbal termasuk golongan yang tidak mengenal Tuhan, buta akan Allah, jauh dari kebenaran agama, tidak bertauhid dan tidak beriman. C. Syarat-syarat Individu atau Lembaga untuk Menjadi Wakil Tuhan Pelarangan terhadap sesuatu perbuatan seringkali diyakini sebagai upaya untuk menegakan kehendak Tuhan. Di sini barangkali letak persoalannya. Apakah ada selain Tuhan yang benar-benar tahu apa yang sebenarnya yang menjadi kehendak Tuhan? Apakah ada manusia yang memiliki kewenangan untuk memposisikan diri sebagai wakil (tentara) Tuhan yang berhak untuk menentukan tindakan seseorang mendekati atau menjauhi kehendak Tuhan? Salah satu kajian hermeneutik adalah bagaimana merumuskan relasi antara teks (text) atau nash, penulis atau pengarang (author) dan pembaca (reader) dalam dinamika pergumulan pemikiran Islam. Seharusnya kekuasaan (otoritas) adalah mutlak menjadi hak Tuhan. Hanya Tuhanlah (author) yang tahu apa yang sebenarnya Ia kehendaki. Manusia (reader) hanya mampu memposisikan dirinya sebagai penafsir atas maksud teks yang diungkapkan Tuhan. Dengan demikian yang paling relevan dan paling benar hanyalah keinginan pengarang. Namun pada praktiknya, seringkali terjadi dimana individu dan lembaga keagamaan (reader) mengambil alih otoritas Tuhan (author) dengan menempatkan dirinya atau lembaganya sebagai satu-satunya pemilik absolut sumber otoritas kebenaran dan menafikan pandangan yang dikemukan oleh penafsir lainnya . Disini terjadi proses perubahan secara instan yang sangat cepat dan mencolok, yaitu metamorfosis atau menyatunya reader dengan author, dalam arti reader tanpa peduli dengan keterbatasan-keterbatasan yang melekat dalam diri dan institusinya menjadi Tuhan (Author) yang tidak terbatas. Tidak berlebihan jika sikap otoritarianisme seperti ini dianggap sebagai tindakan despotisme dan penyelewengan yang nyata dari logika kebenaran Islam. Walaupun kebenaran hanya menjadi hak Tuhan, tetapi manusia tetap berhak menjadi wakil (tentara) Tuhan untuk menafsirkan kehendak Tuhan yang terkandung dalam nash sebagai acuan dalam menjalankan kehidupan. Hal ini sejalan dengan hakikat diciptakannya manusia sebagai wakil Tuhan di muka bumi. Dengan catatan, manusia tidak melampaui batas-batas yang ada seperti mengambil alih posisi Tuhan, bersikap arogan atas penafsirannya dengan menyalahkan penafsiran yang berbeda dan menutup makna yang sebenarnya terbuka atau sebaliknya membuka makna tanpa batas. Khaled M. Abou El- Fadl dalam buku “Atas Nama Tuhan Dari Fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif” memberikan rumusan yang jelas mengenai syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh individu atau lembaga untuk meposisikan diri sebagai wakil Tuhan. Definisi wakil Tuhan menurutnya adalah individu atau lembaga yang memang diberikan kewenangan oleh orang lain atau masyarakat –bukan mengaku-ngaku dan memposisikan sendiri-- karena memiliki kompetensi yang cukup dan dipercaya untuk memberikan fatwa sebagai sebuah penafsiran atas Kehendak Tuhan. Di bawah ini adalah 5 syarat yang harus dipenuhi wakil Tuhan dalam pandangan El- Fadl: a. Kejujuran (honesty). Adalah sikap tidak berpura-pura memahami apa yang sebenarnya tidak ia ketahui dan bersikap terus terang tentang sejauhmana ilmu dan kemampuannya dalam memahami kehendak Tuhan. b. Kesungguhan (diligence). Adalah upaya yang keras dan hati-hati karena bersentuhan dengan hak orang lain. Harus menghindari sikap yang dapat merugikan hak orang lain karena semakin besar pelanggaran terhadap orang lain semakin besar pula pertanggungjawaban di sisi Tuhan. c. Kemenyeluruhan (comprehensiveness). Adalah upaya untuk menyelidiki kehendak Tuhan secara menyeluruh dan mempertimbangkan semua nash yang relevan. d. Rasionalitas (reasonableness). Adalah upaya penafsiran dan analisa terhadap nash secara rasional. e. Pengendalian diri (self-restraint). Adalah tingkat kerendahan hati dan pengendalian diri yang layak dalam menjelaskan kehendak Tuhan. Harus dibangun atas dasar “Wa Allah a’lamu bi ash-shawab” (Dan Tuhan lebih tahu yang terbaik) Syarat-syarat yang diajukan El-Fadl bukan merupakan standar baku dan mutlak untuk menentukan siapa yang berhak menjadi wakil Tuhan. Namun setidaknya dapat dijadikan salah satu pendekatan dalam memahami sejauh mana otoritas Tuhan dapat diwakilkan kepada manusia atau lembaga. 2. Liberalisme A. Pengertian Liberalisme Liberalisme adalah sebuah istilah asing yang diambil dari bahasa Inggris yang berarti kebebasan. Kata ini kembali kepada kata”liberty” dalam bahasa Inggrisnya atau “liberte” menurut bahasa perancis, yang bermakna bebas. Istilah ini datang dari Eropa. Syaikh Sulaiman al-Khirasyi menyebutkan, liberalisme adalah madzhab pemikiran yang memperhatikan kebebasan individu. Mazhab ini memandang, wajibnya menghormati kemerdekaan individu, serta kebanyakan bahwa tugas pokok pemerintahan adalah menjaga dan melindungi kebebasan rakyat, seperti kebebasan berpikir, kebebasan menyampaikan pendapat, kebebabasan kepemilikan pribadi, kebebasan individu dan sejenisnya. Menurut kelompok Islam Progresif ini adalah keinginan menjembatani antara masa lalu dengan masa sekarang. Jembatannya adalah melakukan penafsiran-penafsiran ulang sehingga Islam menjadi agama yang hidup. Karena kita hidup dalam situasi yang dinamis dan selalu berubah, sehingga agar agama tetap relevan, menurut mereka, diperlukan sebuah cara pandang baru atau tafsir baru dalam melihat dan memahami agama. Tafsir yang dimaksud adalah tafsir yang membebaskan, yaitu tafsir yang akan dijadikan pisau analisis untuk melihat problem kemanusiaan, mempertimbangkan budaya, menghilangkan ketergantungan pada sebuah fase sejarah tertentu dan menjadikan doktrin agama sebagai sumber etis untuk melakukan perubahan Merujuk pada berbagai kamus otoritatif, Budhy Munawar-Rahman menjelaskan bahwa liberalisme adalah paham yang berusaha memperbesar wilayah kebebasan individu dan mendorong kemajuan sosial. Liberalisme merupakan tata pemikiran yang landasannya adalah manusia yang bebas. Bebas, karena manusia mampu berpikir dan bertindak sesuai dengan apa yang diinginkan. Dan ini berarti bahwa liberalisme adalah paham pemikiran yang optimistis tentang manusia. Dari pengertian liberalisme ini maka terlihat dua agenda besar yang diperjuangkannya, yaitu; (1) mengandalkan rasio dan kesadaran individu, dan (2) mengandalkan pembangunan mandiri masyarakat tanpa intervensi berlebihan dari negara. Dua agenda besar ini digulirkan dalam wacana Hak Asasi Manusia (HAM) dan masyarakat sipil (civil society) Dalam hal ini maka liberalisasi, menurut Dawam, merupakan sebuah kemestian agar Islam mampu menghadapi isu-isu kontemporer seperti demokrasi, hak-hak asasi manusia, kesetaraan jender, kesetaraan agama-agama dan hubungan antar agama. Untuk menghadapi persoalan kontemporer ini jangan lagi terikat pada paradigma lama dan pada teks yang tidak bisa berubah dan diubah (wahyu/al-Qur`an dan Sunnah—pen), melainkan hanya mengandalkan kemampuan akal budi manusia yang telah dianugerahkan Tuhan dan telah diperintahkan oleh-Nya untuk digunakan B. Sejarah Liberalisme Liberalisme sebagai paham sesungguhnya sudah lama ada, seiring dengan proses penerjemahan buku-buku filsafat Yunani, Persia dan India ke dalam bahasa Arab atas perintah al-Makmum. Sejak itu, seruan kepada wihdatul adyan (penyatuan Agama) dan penisbatan nilai-nilai Agama sudah terdengar. Penganut paham pluralis ini mengambil patokan tahun 1798 sebagai tonggak berdirinya paham Liberal. Pada tahun 1978 Napoleon Bonaparte menancapkan kukunya di Mesir. Tahun itu sangat bersejarah sehingga Bernard Lewis menyebutnya sebagai “a water shed in history” dan “the firs shock to Islamic complacency, the first impulse to westernization and reform (lewis 1963: 34) para sejarawan menyebutkan kedatangan Napoleon di Mesir merupakan tonggak penting bagi Muslim Liberal dan juga bagi bangsa Eropa. Bagi kaum Muslim Liberal, kedatangan iut membuka mata mereka, betapa tentara Eropa yang modern mampu menaklukkan dan menguasai jantung Islam. Bagi orang Eropa, kedatangan itu menyadarkan betapa mudah menaklukkan sebuah peradaban yang di masa silam begitu Berjaya dan sulit ditaklukkan. Begitu pentingnya tahun 1798 ini hingga Albert Hourani, sejarawan Inggris keturunan Libanon, menjadikan sebagai awal era Liberal bagi bangsa Arab dan kaum Muslimin. Seperti yang telah dijelaskan dalam bukunya, Arabic thought in the liberal age. Kedatangan Napoleon ke Mesir bukan sekedar invasi militer, melainkan juga titik awal westernisasi bangsa Arab dan kaum Muslimin. Hourani ini menjadikan era liberal sebagai rujukan masa kebangkitan islam di dunia modern. Pemikiran liberal masuk kedalam tubuh kaum muslimin melalui para penjajah colonial. Kemudian disambut orang-orang yang terperangah dengan modernisasi Eropa waktu itu. Munculah dalam tubuh kaum muslimin madrasah al-ishlahiyah (aliran reformis)dan madrasah at-tajdid (aliran pembaharu) serta al-Ashraniyun (aliran modernis) yang berusaha menggandengkan islam dengan liberal ditambah dengan banyaknya pelajar muslim yang dibina para orientalis di negara-negara Eropa. Upaya menyatukan liberalisme kedalam islam sudah dilakukan oleh gerakan ‘islahiyah’ pimpinan Muhammad ‘Abduh dan para muridnya. Kemudian pada tahun 60an, munculah gerakan pembaharu (madrasah at-tajdid) dengan tokoh seperti Rifa’ah Ath-Thahthawi dan Khairuddin at-Tunisi. Pemikiran mereka ini tidaklah satu, namun mereka memiliki kesamaan dalam upaya menggabungkan ajaran Islam dengan modernisasi Barat dan merekonstruksi ajaran agama agar sesuai dengan modernisasi Barat (orang-oranng kafir). Oleh karena itu, pemikiran mereka berbeda-beda sesuai dengan pengetahuan mmereka terhadap modernisasi di barat dan kemajuanya yang terus barkembang. Demikian juga, mereka sepakat menjadikan akal sebagaoi sumber hukum sebagaimana akal juga menjadi sumber hukum dalam ajaran liberal. Dari sini jelaslah kaum reformis dan modernis ini ternyata memilikii prinsip dan latar belakang serta orientasi pemikiran yang berbeda-beda, meskipun mereka sepakat untuk mengedepankan logika akal daripada al-Qur’an dan Sunnah dan pengaruh kuat pemikiran Barat. Dalam sejarah kemunculannya, liberalisme adalah lawan dari fundamentalisme dan otoritarianisme yang berwujud lembaga negara. Akan tetapi, menurut Dawam Raharjo, otoritarianisme (paham yang otoriter—pen) itu saat ini tidak hanya berwujud negara, melainkan juga bisa berupa agama, tepatnya agama dalam wujud sekumpulan pemikiran-pemikiran Islam yang sudah dianggap baku, baik itu dalam bidang fiqh, kalam, filsafat atau tasawuf yang biasa dilestarikan oleh para ulama dan berujung pada jargon “pintu ijtihad telah tertutup”. Maka dari itu liberalisme juga harus diarahkan kepada pemikiran-pemikiran Islam yang sudah dianggap memfosil ini, yang dipastikan tidak akan mampu menjawab fenomena-fenomena baru yang terjadi dalam kehidupan manusia C. Prinsip-prinsip Etis Islam Liberal Secara umum prinsip liberalis ada 7 (tujuh), yaitu antara lain : 1. Etika Keadilan, Kalau kita melihat kepada Islam, sejak awal misi Islam adalah liberasi atau pembebasan dari penindasan, tirani dan pembebasan dari berbagai bentuk ketidakadilan. Semangat itu harus selalu ditekankan, sehingga tidak terjadi hegemoni kebenaran penafsiran, termasuk fatwa yang menganggap paham tertentu sesat. Banyak definisi tentang keadilan telah dikembangkan oleh para pemikir Islam Progresif, tetapi menurut mereka definisi para ulama klasik ternyata masih tetap relevan untuk masa kini, yakni “menempatkan sesuatu secara proporsional (sebanding atau berimbang)” (wadl’ sya’ fi mahallih). Dalam Islam, menurut mereka, etika keadilan ini tidak hanya dipraktikkan dalam konteks perundangan dan pemerintahan, tetapi juga dalam kehidupan sehari-hari, termasuk dalam kehidupan rumah tangga. Tentang pentingnya keadilan ini dalam Islam, Mhmud Syaltut, seorang ulama al-Azhar menerangkan bahwa perintah al-Qur’an untuk menegakkan keadilan di muka bumi adalah perintah yang bersifat universal, tanpa adanya diskriminasi yang satu atas lainnya. Keadilan tidak hanya berlaku untuk komunitas tertentu tanpa komunitas lainnya. Sebab, prinsip keadilan adalah aturan Tuhan yang berlaku objektif. Manusia sebagai hamba dan ciptaan-Nya mesti mendapatkan persamaan dalam prosi keadilan baik laki-laki atau perempuan, Muslim atau non-Muslim. Selama ini pembahasan tentang keadilan lebih banyak diorentasikan pada keadilan Tuhan sebagaimana banyak dilakukan oleh kalangan al-mutakallimun (teolog klasik). Sementara membincang keadilan manusia di muka bumi jarang disinggung. Oleh karena itu, menarik mengikuti pandangan al-Jabiri tentang konsep keadilan yang sekarang banyak dikembangkan para pemikir Islam Progresif di Indonesia. Menurutnya, penting dilakukan perubahan paradigma tentang keadilan yang bersifat ilahi menuju keadilan duniawi yang bersifat kekinian. Ajakan al-Jabiri dalam konteks kekinian umat Islam memang menemukan relevansinya. Dunia ini dan dunia Islam, menurut al-Jabiri, membutuhkan bentuk keadilan yang nyata, bukan lagi -apa yang ia sebut- “keadilan metafisika (hal yang non-fisik)”. 2. Etika Kemaslahatan Landasan pemikiran yang membentuk konsep etika kemaslahatan ini ialah, kenyataan bahwa, syariat Islam dalam berbagai pengaturan dan hukumnya mengarah kepada terwujudnya mashlahah (apa yang menjadi kepentingan dan apa yang dibutuhkan manusia dalam kehidupan di permukaan bumi). Upaya mewujudkan mashlahah dan mencegah mafsadah (hal-hal yang merusak) adalah sesuatu yang sangat nyata dibutuhkan setiap orang dan jelas dalam syariat yang diturunkan Allah kepada semua rasul-Nya. Dan itulah sasaran utama dari hukum Islam. 3. Etika Pembebasan Ajaran Islam tentang pembebasan bisa ditelusuri pada sejarah Jazirah Arab sebelum Islam untuk selanjutnya diperbandingkan dengan semangat pembebasan Islam. Para sejarawan mencatat, kota Makkah sebelum datangnya Islam merupakan kota sentral perdagangan yang cukup penting. Makkah pada saat itu, merupakan pusat perdagangan internasional pada waktu kelahiran Islam. Saudagar-saudagar kuat yang mengkhususkan diri dalam operasi-operasi keuangan dan transaksi-transaksi perdagangan internasional yang kompleks telah muncul pada kancah sosial Makkah. Saudagar-saudagar kaya yang membentuk korporasi-korporasi antarsuku untuk mengadakan dan memonopoli perdagangan dengan imperium Bizantium memupuk keuntungan tanpa mendistribusikan sebagaian dari keuntungan tersebut kepada orang miskin dan yang membutuhkan dari suku mereka. Hal ini melanggar norma-norma kesukuan dan menyebabkan kebangkrutan sosial di Makkah. Dalam kondisi seperti itulah, Nabi Muhammad datang dengan semangat pembebasan Islam. Menurut mereka sekiranya hanya seruan untuk bertauhid minus sistem sosial dan ekonomi, tanpa menyerukan prinsip persamaan antara manusia merdeka dan budak, antara si kaya dan si miskin, si kuat dan si lemah, tidak menetapkan hak bagi kaum miskin di sebagian harta orang kaya, tentu banya orang Quraisy yang bisa menyambut seruan Nabi Muhammad dengan mudah. Pada hakikatnya orang Quraisy tidak percaya berhala secara penuh. Mereka juga tidak benar-benar mempertahankan “tuhan-tuhan” mereka. Orang-orang Quraisy bertahan membela “tuhan-tuhan” mereka hanya untuk mempertahankan kepentingannya di kalangan bangsa Arab. Mereka benci kepada Nabi Muhammad karena beliau mengemban misi untuk merombak sistem sosial yang berlaku, dan menetapkan bentuk keadilan yang tidak sesuai dengan kepentingan tokoh-tokoh Quraisy. Nabi menegur saudagar-saudagar kaya Makkah, mendesak mereka agar tidak menimbun kekayaan, dan memerintahkan untuk memelihara orang miskin, anak yatim dan orang yang membutuhkan. Ayat-ayat makiyah yang diwahyukan kepada Nabi mengutuk keras akumulasi kekayaan dan memperingatkan saudagar-saudagar Makkah akan akibat yang membahayakan jjika mereka tidak menafkahkan kekayaan mereka di jalan Allah (Q. 104: 2-9; 102: 1-8). Artinya, al-Quran mengabarkan bahwa para nabi adalah pembebas kaum mustadh’afin (tertindas). Perbuatan Nabi inilah yang menjadi landasan dari etika pembebasan. 4. Etika Kebebasan Salah satu ajaran Islam tentang kebebasan yang terdapat dalam (Q.2: 256). Di samping itu, di dalam al-Qur’an banyak ungkapan seperti la ikrah-a fi al-din (tidak ada paksaan dalam beragama) dan la’allakum ta’qillun (agar kamu berpikir) dan semacamnya, yang menunjukkan adanya perintah dan kebebasan beragama dan berpikir. Dari kedua bentuk kebebasan yang fundamental ini, yakni kebebasan beragama dan kebebasan berpikir, kemudian muncul kebebasan-kebebasan lainnya, seperti kebebasan berbicara, memilih pekerjaan dan sebagainya. Hanya saja, terdapat perdebatan di antara para ulama dan intelektual muslim tentang batasan-batasan kebebasan ini, terutama dalam hal jika kebebasan ini bertentangan dengan ajaran dasar Islam. Bagi Rumi, kebebasan memilih bagi manusia adalah real, bukan semu. Oleh karenanya, ia menentang keras konsep Jabariyah yang dipandangnya sebagai pengkhianatan terhadap kebebasan tersebut. 5. Etika persaudaraan Nilai atau etika persaudaraan yang diperkenalkan Nabi Muhammad adalah pesan persaudaraan yang bersifat universal, terbuka dan disemangati oleh nilai-nilai kemanusiaan. Hal terpenting yang dilakukan oleh Nabi untuk membuat ikatan solidaritas adalah dengan menentang fanatisme. Dalam sebuah ungkapannya yang sangat populer, nabi bersabda: “Bukan pengikutku mereka-mereka yang mengampanyekan fanatisme buta. Bukan juga dari golonganku orang yang menyabung nyawa demi fanatisme. Dan, tidak masuk golonganku mereka yang tewas terbunuh hanya untuk mempertahankan fanatisme”. 6. Etika Perdamaian Kalangan Islam Progresif sangat memperhatikan etika perdamaian. Nilai ini antara lain terdapat dalam Q. 8:61, yakni “Dan jika mereka (musuh) condong ke perdamaian, maka condonglah kepadanya dan bertawakkal kepada Allah”. Ayat ini turun ketika hubungan antar-kelompok didasarkan pada prinsip konflik. Perdamaian di antara kelompok-kelompok sosial/suku pada waktu itu hanya terjadi jika ada perjanjian (’ahd) di antara mereka. Namun, kini hubungan antar-kelompok/negara didasarkan pada prinsip perdamaian, sehingga para ulama dan intelektual Islam Progresif kini menjadikan nilai perdamaian ini sebagai nalar dasar atau etika dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. 7. Etika Kasih Sayang Kalangan Islam Progresif sangat memperhatikan etika kasih sayang. Menurut mereka Islam adalah agama yang menjadi rahmat bagi seluruh alam, tidak terbatas kepada manusia, bahkan binatang dan tumbuh-tumbuhan. Pendek kata, Islam diturunkan untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam semesta. D. Metode Pemikiran Islam Liberal Metode pemikiran hukum Islam antara lain: 1. Tafsir al-Qur’an dalam Perspektif Liberal al-Qur’an mustahil bisa dipahami maknanya secara komprehensif (menyeluruh)jika dalam penafsirannya tanpa adanya kritisisme. Selama ini ada kesalahan pendekatan dalam mengkaji ilmu-ilmu keislaman. Kesalahan ini berkisan pada ketidaksesuaian antara ajaran dengan pesan orisinal etis al-Qur’an, diakibatkan oleh pendekatan kajian yang digunakan yang umumnya tidak memperhatikan aspek keterkaitan ayat-ayat serta pengabaian aspek historis dari agama ini. Pergumulan intelektual Islam selama ini tidak diarahkan untuk pencapaian-pencapaian gagasan yang baru, melainkan hanya dimanfaatkan untuk mempertahankan pengetahuan yang telah ada. Sehingga dalam diskursus pemikiran keislaman ada sebuah tendensi (kecenderungan) yang sangat kuat untuk bersikap mempertahankan mati-matian terhadap -meminjam istilah Thomas Kuhn- ‘normal science’, dan bukannya pada pengembangan ilmiah untuk memasuki wilayah ‘revolutionary science’. Atau bila memakai istilah Karl R. Popper, kita sering kali menemukan banyak hal dalam wilayah “konteks justifikasi” (context of justification) pada ilmu-ilmu keislaman dan sedikit sekali yang berkaitan dengan “konteks penemuan-penemuan baru” (context of discovery). 2. Dampak Penafsiran Tekstual Kalangan Islam Progresif meyakini bahwa dalam berbagai macam penafsiran terhadap al-Qur’an, model penafsiran tekstual yang mengabaikan konteks dan aspek historitas sebagaimana banyak ditemukan di kalangan tekstualis -yang konservatif sampai radikal- dalam tataran sosiologis tidak jarang telah berimplikasi pada stigmatisasi terhadap kelompok lain, seperti stigmatisasi murtad, kafir, musyrik dan sebagainya. 3. Asbabun nuzul Pengetahuan asbab al-nuzul akan membantu seseorang memahami konteks diturunkannya sebuah ayat suci. Konteks itu akan memberi suatu penjelasan tentang implikasi (keterlibatan) sebuah firman, dan memberi bahan melakukan penafsiran dan pemikiran tentang bagaimana mengaplikasikannya sebuah firman itu dalam situasi yang berbeda. Dengan demikian, ilmu asbab al-nuzul memberikan bekal kepada kita berupa materi baru yang memandang teks dapat merespon realitas, baik dengan cara menguatkan ataupun menolak, dan menegaskan hubungannya yang dialogis dan dielektika dengan realitas. 4. Nasikh-Mansukh Teori naskh (penghapusan/pembatalan) adalah terminologi yang biasa digunakan oleh para ahli tafsir untuk menunjukan adanya ayat-ayat yang membatalkan (nasikh) dan ayat-ayat yang dibatalkan (mansukh). Teori ini dimunculkan oleh mayoritas ulama oleh karena adanya ayat-ayat yang dianggap saling bertentangan makna literalnya yang tidak mungkin lagi dapat dikompromikan. Menurut teori ini, ayat-ayat yang menghapus (nasikh) adalah ayat-ayat yang diturunkan belakangan. Sementara ayat-ayat yang dihapus (mansukh) merupakan ayat-ayat yang diturunkan lebih dahulu. 5. Makkiyah dan Madaniyah Ayat-ayat Madaniyyah, pada umumnya berisi ayat-ayat yang menyatakan aturan-aturan tentang kehidupan bersama dalam masyarakat yang telah terbentuk. Selain itu, ayat-ayat ini mengandung pesan dan ketentuan-ketentuan terhadap orang-orang munafik dan komunitas lain yang ada di Madinah. Tegasnya, ayat-ayat madaniyah berbicara mengenai aturan-aturan praktis untuk masyarakat Madinah baik yang sudah beriman maupun yang masih dalam keyakinan agamanya masing-masing. Pada periode Madinah, al-Qur’an memberikan respon terhadap kebutuhan sosial-politik yang konkrit dalam suatu komunitas yang dibangun. Dengan kemerdekaan untuk mengembangkan institusi-institusi yang mereka miliki dan menerapkan norma-norma agama baru mereka, umat Islam memerlukan ajaran dan tuntunan yang lebih terinci. Namun, penamaan makkiyah dan madaniyah tidak harus menunjukan tempat semata, tetapi harus menunjukkan juga kedua fase sejarah. Makkiyah adalah ayat/surat yang diturunkan sebelum hijrah, dan Madani adalah yang diturunkan setelahnya, baik turun di Makkah ataupun di Madinah, pada tahun pembebasan (Makkah) atau haji wada’ atau dalam suatu perjalanan. 6. Teori Ta’wil Ta’wil sebagai metode memahami al-Qur’an tidak semata-mata karena unsur teks yang meniscayakan penafsiran dan penakwilan, melainkan ada unsur yang lebih realistis, bahwa setiap manusia mempunyai fitrah dan kemampuan yang berbeda-beda dalam memahami al-Qur’an. wilayah ta’wil mencakup semua bagian teks, bahkan tidak terdapat pada batas-batas kepadatan makna yang tersembunyi. Ta’wil dapat dilakukan setelah melalui proses tafsir, yakni menyelami kedalaman teks melalui gerak mental atau ijtihad. 7. Muhkamat dan Mutasyabihat Ayat-ayat muhkamat adalah kumpulan hukum-hukum yang disampaikan kepada Nabi Muhammad, yang memuat orinsip-prinsip prilaku manusia, yaitu ibadah, muamalah, akhlaq dan hal-hal yang membentuk risalahnya. Jenis ayat muhkamat ini berfungsi sebagai pembeda antara yang halal dan yang haram. Sedangkan ayat-ayat mutasyabihat adalah kumpulan seluruh hakikat yang diberikan Allah kepada Nabi Muhammad yang sebagian besar darinya bersifat ghybiyah, yaitu hal-hal yang belum diketahui oleh kesadaran manusia ketika al-Qur’an diturunkan. Kitab ini merepresentasikan kenabian Muhammad dan sekaligus membedakan antara yang nyata dan yang absurd atau dugaan semata. 8. Hermeneutika Hermenutika itu tidak sekedar ilmu interpretasi atau teori pemahaman, tetapi juga ilmu yang menjelaskan penerimaan wahyu sejak dari tingkat perkataan sampai ke tingkat dunia. Ilmu tentang proses wahyu dari huruf sampai kenyataan, dari logos (pemaknaan) sampai praksis (praktik) dan juga transformasi wahyu dari pikiran Tuhan kepada kehidupan manusia. Di sinilah sebenarnya letak pentingnya hermeneutika sebagai “cara membaca”, “memaknai”, “memahami”, dan mungkin “melampau makna” yang secara tekstual sudah tersedia. Kehadiran al-Qur’an sesungguhnya tidak mengabaikan hermeneutika, bahkan menyerukannya. Karena sebagian besar dari ayat-ayat al-Qur’an mesti didekati dengan tafsir. Itu sebabnya menerima sepenuhnya hermenutika yang kemudian dikembangkan secara khas sebagai metode penafsiran Islam Liberal bagi kalangan Islam Progresif adalah sebuah keniscayaan. E. Liberalisme dalam Hukum Islam Liberalisme ini menginovasikan berbagai ajaran Islam untuk lebih berbuat kepada kemaslahatan, kemanfaatan dan keadilan muamalah (pergaulan) sesama manusia yang tidak mengikatkan pandangan tersebut kecuali dengan berbagai asas-asas etis yaitu etika keadilan, etika kemaslahatan, etika pembahasan, etika kebebasan, etika persaudaraan, etika perdamaian dan etika kasih sayang. Paham Liberalisme ini pun sesuai dengan landasan agama Islam sendiri yaitu bahwa islam adalah agama inovasi (din al-islah) yang berarti asas-asas Islam itu memang tetap seperti Al-Quran dan Al-Hadits, tetapi kaidah-kaidah hukum itu bisa berubah sesuai dengan kebutuhan zaman. Liberalisme ini memberikan pandangan secara kritis terhadap dalil-dalil naqli autoritas resmi Islam (Al-Qur’an dan Al-Hadits) oleh dalil-dalil yang bersifat aqliyah (akal) sehingga menginovasikan syariat agar lebih memberikan kemanfaatan kepada semua orang tanpa mengenal ras, agama, budaya dan suku. Perlu diingat bahwa liberalisme ini lebih mengutamakan pendapat berdasarkan akal, bukanlah dengan nafsu karena nafsu hanya membawa kepada kerugian. Dan dengan akal pulalah manusia oleh Tuhan dibedakan dengan binatang dan menjadikannya lebih tinggi derajatnya daripada Malaikat. Liberalisme adalah suatu sikap kritis terhadap agama, yang justru diperlukan. Dengan demikian, persoalannya adalah bagaimana kita bisa kritis terhadap agama, tetapi tidak perlu memutlakkan pikiran-pikiran rasional kita. Liberalismelah yang dapat menjaga dan mempertahankan kesehatan dan keseimbangan agama. Pemahaman Liberalisme dalam Islam ini bukan pula bertujuan untu menghapus syariat seperti misalnya Puasa di bulan suci nan fitri yaitu Romadhon atas nama liberal. Justru pemahaman liberal ini dicontohkan oleh Syeh Abdul Qadir Az-zaelani dalam kitabnya Al-Gunyah yang isinya mengenai fadhoil-fadhoil amal (keutamaan beramal), beliau menginterpretasikan teks Al-Quran dan Al-Hadits dengan pengalaman dan pemahamannya dengan membentuk kaidah-kaidah hukum (Qawaid Al-Ahkam) atau syariat Islam supaya ibadah kita mendapatkan suntikan (infuse) semangat (ghirah) yang lebih dalam beribadah dan bermasyarakat. Tentunya kaidah-kaidah hukum tersebut tidak ada dalam al-quran dan al-hadits. Intinya Liberalisme ini menjadikan kita muslim untuk beramal lebih dan memberikan kemanfaatan yang lebih pula terhadap sesama manusia di muka bumi. Dan yang harus ditekankan dalam liberalisme adalah: Tidak ada kebebasan tanpa batas. Liberalisme memberikan inspirasi bagi semangat kebebasan berpikir kepada masyarakat untuk mencari solusi terbaik dalam menghadapi masalah-masalah yang dihadapi. 3. Otoritarianisme dan Liberalisme dalam Pemikiran Hukum Islam Hukum Islam tidak ditemukan sama sekali di dalam al-Qur’an dan literature hukum dalam Islam. Yang ada dalam al-Qur’an adalah kata syari’ah, fiqh, hukum Allah dan yang seakar dengannya. Kata-kata hukum Islam merupakan terjemahan dari term “Islamic Law” dari literature Barat. Sebagian ahli hukum Islam berpendapat bahwa hukum Islam adalah hukum dalam tatanan Modern, hal ini dapat dilihat dari muatan yang terdapat dalam hukum Islam dimana mampu menyelesaikan segala persoalan masyarakat yang tumbuh dan berkembang sejak ratusan tahun yang lalu dan hukum Islam ini tidak hanya dapat memenuhi aspirasi masyarakat pada saat ini, akan tetapi juga dapat dijadikan acuan yang akan datang dalam mengantisipasi pertumbuhan dan perkembangan sosial, ekonomi dan politik yang ada saat ini maupun akan datang. Hukum Islam bukan sekedar norma statis yang mengutamakan kedamaian dan ketertiban semata, akan tetapi juga mampu mendinamiskan pemikiran dan merekasa perilaku masyarakat dalam mencapai cita-cita kehidupannya. Fiqh adalah salah satu produk pemikiran hukum Islam selain dari pada fatwa ulama, keputusan pengadilan agama, dan peraturan perundang-undangan di negeri muslim. Sebagai produk pemikiran fiqh mencakup pembahasan dalam semua aspek hukum Islam. Permasalahannya sekarang dalam pemikiran hukum islam terdapat faham otoriterianisme dan faham liberalisme. Otoritarianisme sendiri adalah faham yang mengabsahkan tindakan menggunakan kekuasaan Tuhan yang dilakukan seseorang, kelompok atau institusi untuk menyatakan bahwa pandangan keagamaannya (tafsir atas teks suci) paling benar dan itulah yang sebenarnya dikehendaki Tuhan. Sementara interpretasi yang dikemukakan pihak lain dianggap salah dan bukan kehendak Tuhan atau bahkan pada titik tertentu dituding sesat dan menyesatkan. Sedangkan liberalisme menurut kelompok Islam Progresif adalah keinginan menjembatani antara masa lalu dengan masa sekarang. Jembatannya adalah melakukan penafsiran-penafsiran ulang sehingga Islam menjadi agama yang hidup. Karena kita hidup dalam situasi yang dinamis dan selalu berubah, sehingga agar agama tetap relevan, menurut mereka, diperlukan sebuah cara pandang baru atau tafsir baru dalam melihat dan memahami agama. Tafsir yang dimaksud adalah tafsir yang membebaskan, yaitu tafsir yang akan dijadikan pisau analisis untuk melihat problem kemanusiaan, mempertimbangkan budaya, menghilangkan ketergantungan pada sebuah fase sejarah tertentu dan menjadikan doktrin agama sebagai sumber etis untuk melakukan perubahan. Kebenaran dan agama Islam bukan hanya milik sebagian lembaga atau orang-orang yang sefaham. Akan tetapi menjadi milik bagi semua makhluk Tuhan. Otoritas kebenaran benar-benar mutlak menjadi milik Tuhan yang dituangkan dalam al-Quran. Dan al-quran perlu penbafasiran. Pada zaman nabi penafsiran diakukan oleh nabi sebagai wakil Tuhan. sepeninggalnya nabi penafsiran tidak bisa berhenti karena prinsip dari al-Quran sendiri yaitu bisa sebagai pedoman. Pada prinsipnya manusia mempunyai kreativitas dalam berpikir karena itu apabila kreatifitas kaum inteklual dibatasi maka Kemunduran Islam akan terjadi. Hal tersebut sangat mungkin terjadi manakala setiap muncul gagasan yang berbeda dari mainstream yang ada di tengah masyarakat dianggap sesat dan menyimpang dari ajaran Islam. Apalagi sampai pada tidakan pembunuhan karakter, ancaman dan tindakan refresif lainnya. Padahal belum tentu benar-benar sesat dan menyimpang. Bisa saja hanya sebatas pada persoalan perbedaan penafsiran dan pemahaman. Di sini barangkali sering terjadi bias antara sesat dan berbeda. Definisi sesat dan menyimpang bukan lagi terletak pada metodologi berfikir yang digunakan. Apakah masih menggunakan cara berfikir yang dibenarkan menurut Islam atau tidak. Akan tetapi seringkali ukuran sesat dan menyimpang adalah berbeda dengan penafsiran yang dipegang oleh penguasa atau mayoritas umat Islam. Penerapan liberalisme dalam pemikiran hukum islam harus Menghormati otonomi teks bertujuan menghindari kooptasi dan otoritarianisme pembaca terhadap teks sehingga teks bisa ditafsirkan sebebas-bebasnya. Otoritarianisme dan liberalism memiliki kedudukan dan peran yang sangat penting dalam pemikiran hukum islam. Otoritarianisme menjaga keaslian dan keutuhan nash sedangkan liberalisme lebih pada menafsirkan nash secara kontektual. Jadi, Mari kita singkirkan jauh-jauh nafsu syahwat kita yang sering muncul dalam wujud arogansi dan sikap otoriter untuk mengatakan bahwa cara beragama kita lebih baik dan benar dari orang lain yang memiliki penafsiran dan cara memahami (menjalankan) ajaran Islam berbeda dengan kita. Pemikiran liberal sangat Mari kita belajar menerima perbedaan sebagai anugerah Tuhan yang harus disyukuri. BAB III KESIMPULAN Liberalisme dan Otoriterianisme adalah dua sisi yang berlawanan tetapi saling mengaitkan dan saling berikatan. Dalam sejarah pemikiran hukum Islam, yang pertama kali muncul dalam permukaan adalah otoriterianisme yang dikenal sebagai faham yang mengabsahkan tindakan menggunakan kekuasaan Tuhan yang dilakukan seseorang, kelompok atau institusi untuk menyatakan bahwa pandangan keagamaannya (tafsir atas teks suci) paling benar dan itulah yang sebenarnya dikehendaki Tuhan. Sementara interpretasi yang dikemukakan pihak lain dianggap salah dan bukan kehendak Tuhan atau bahkan pada titik tertentu dituding sesat dan menyesatkan. Faham ini ternyata tidak bisa bertahan karena dirasa kreativitas kaum intelektual telah dibatasi, hal ini mengakibatkan kemunduran bagi umat Islam. Munculah faham baru sebagai bentuk ketidakpuasan terhadap faham otoriterianisme, yakni liberalisme. Faham ini lebih menekankan penafsiran atas nash, dan membebaskan manusia untuk menafsirkan nash sesuai dengan perkembangan zaman, tidak hanya terpaku terhadap teks semata. Penerapan dari keduanya walaupun saling berlawanan, tetapi pada kenyataannya memiliki peran yang saling menguatkan dalam pemikiran hukum Islam, otoriterianisme berperan sebagai pembatas atas penafsiran teks-teks suci, karena ingin menjaga keaslian dari teks al-Qur’an itu sendiri. Sedangkan liberalism menangkap permasalahan zaman yang semakin berkembang yang harus melakukan penafsiran dan mencari makna yang terkandung dalam teks, manusia menggunakan akalnya untuk meafsirkan. Dalam hal ini otoriterianisme tidak boleh terlalu membatasi makna al-Qur’an, dan liberalism tidak boleh sebebas-bebasnya menafsirkannya, semuanya ada batasan dan semuanya harus dilakukan dengan seimbang serta tidak boleh menggunakan hawa nafsu semata. DAFTAR PUSTAKA Ash-Shidiqy,M. hasbi. Filsafat Hukum Islam, Jakrata: Bulan Bintang,1975. Djamil, fathurrahman. Filsafat Hukum Islam. Jakarta: logos Wacana Ilmu.1997 Amal, Taufik Adnan. Islam Dan Tantanagn Modernitas. Bandung: MIZAN. 1992 Buchori.“konstruksi Otoriterianisme” http://Pa-Kendal.com, akses tanggal 18 November 2011. Ihsan, Asnawi. “Otoriterianisme: Catatan Hitan Peradaban Islam” http://asnawiihsan.blogspot.com, akses 20 November 2011. al-Khirasyi, Sulaiman. “Haqiqat Libraliya wa Mauqiful Muslim” http://almanhaj.com, akses tanggal 19, November 2011. Ruhiyat, Muhammad Iqbal. “Argumentasi Islam Liberal/Hujjah Hurriyat At-Tafikiiry Al-Islamy” http://kompasiana.com, akses tanggal 13 November 2011 . “Akar Sejarah Pemikiran Liberal” http://ayok.wordpress.com/2008/07/18/akar-sejarah-pemikiran-liberal.com, Akses tanggal 19 November 2011.

0 komentar:

Posting Komentar