About Template

Rabu, 29 Juni 2011

PEMELIHARAAN ANAK DAN TANGGUNG JAWAB TERHADAP ANAK
AKIBAT PERCERAIAN
Makalah ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah
Hukum Perdata Islam Indonesia
Dosen pengampu: Siti Djazimah

Disusun oleh kelompok delapan:
Umi salamah (08350035)
Laili Shofiya Kurniawati (08350040)
Adi Nur Fauzi IA (083500 )
JURUSAN AL-AHWAL AL- SYHAHSYHIAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ISLAM SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2011




DAFTAR ISI
Halaman judul
Daftar isi
Bab I PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN HADANAH
B. YANG BERHAK MELAKUKAN HADHANAH
C. SYARAT-SYARAT BAGI ORANG YANG MELAKUKAN
HADANAH
D. MASA HADHANAH
BAB III PENUTUP








BAB I
PENDAHULUAN
Allah SWT menciptakan makhluknya di muka bumi ini berpasang-pasangan seperti siang dan malam, bulan dan bintang. Laki-laki dan perempuan dan lain sebagainya, dengan keberagaman ini sepantansnya kita bersyukur kepada Allah SWT atas segala ni’mat yang telah diberikan kepada kita.














BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Dan Dasar Hukum
Dalam bahasa Arab pemeliharaan anak disebut hadhanah, yang secara bahasa hadhanah berasal dari kata hadhana-yahdanu-hadhnan berarti mengasuh, memeluk, merawat. Dan hadhanah dapat juga diartikan “meletakkan sesuatu dekat dengan tulang atau pangkuan”, karena seorang ibu pada waktu menyusukan anaknya, meletakkan anaknya itu dipangkuannya, seakan-akan ibu melindugi dan memelihara anaknya. Sehingga hadhanah dijadikan istilah yang maksudnya pendidikan dan pemeliharaan anak sejak lahir sampai sanggup berdiri sendiri mengurus dirinya sendiri yang dilakukan oleh kerabat anak itu.
Menurut ulama fiqh mendefinisikan hadhanah yaitu melakukan pemeliharaan anak-anak yang masih kecil, baik laki-laki maupun perempuan, atau sudah besar tetapi tetapi belum mumayyiz, menyediakan sesuatu yang menjadikan kebaikannya, menjaganya dari sesuatu yang menyakiti dan merusaknya, mendidik, jasmani, rohani, dan akalnya agar mampu berdiri sendiri menghadapi hidup dan memikul tanggung jawab. Hadhanah berbeda dengan “tarbiyah” (pendidikan), akan tetapi yang dimaksud disini adalah pemeliharaan jasmani dan rohani, disamping mengandung pengertian pendidikan terhadap anak.
Dan yang menjadi dasar hukum pemeliharaan anak ini adalah firman Allah SWT QS. At-Tahrim : 6 sebagai berikut :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلائِكَةٌ غِلاظٌ شِدَادٌ لا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ (٦)
Artinya :
“Wahai orang-orang Yang beriman! peliharalah diri kamu dan keluarga kamu dari neraka Yang bahan-bahan bakarannya: manusia dan batu (berhala); neraka itu dijaga dan dikawal oleh malaikat-malaikat Yang keras kasar (layanannya); mereka tidak menderhaka kepada Allah Dalam Segala Yang diperintahkanNya kepada mereka, dan mereka pula tetap melakukan Segala Yang diperintahkan”.

B. Yang Berhak Melakukan Hadhanah
Keluarga adalah tempat yang paling utama bagi pertumbuhan dan perkembangan anak, dimana seorang anak akan merasa nyaman, aman, dan terlindungi berada di tengah-tengah keluarga. Dan keluarga juga adalah orang pertama yang membantu seorang anak pada permulaan hidupnya, misalnya makan, pakaian, membersihkan diri. Dalam membantu anak tersebut diperlukan seorang yang lemah lembut, penuh rasa kasih sayang, kesabaran dan mempunyai keinginan seoarang anak itu menjadi baik (saleh), mempunyai waktu yang cukup, dan sifat dominan seperti itu dimiliki oleh seorang wanita. Hal ini sesuai dengan syarat-syarat aturan yang telah ditetapkan oleh Islam. Sebagaimana disebutkan dalam hadits:
عن عبد الله ابن عمر أن امرأة قالت : يارسول الله هذاكن بطنى له وعاء وجحري له حواء وثديي له سقاء، فزعم أبوه أنه احق مني فقال : أحق مالم تنكحي ( رواه احمد و ابو داود والبيهقي والحاكم وصححه)
“Dari Abdullah bin Umar bahwasannya seorang wanita berkata: Ya Rasulullah, bahwasannya anakku ini perutkulah yang mengandungnya, asuhankulah yang mengawasinya dan air susukulah minumannya. Bapaknya hendak mengambilnya dariku. Maka berkatalah Rasulullah: Engkau lebih berhak atasnya (anak itu) selama engkau belum nikah (dengan laki-laki lain)”.
Seorang ibu adalah orang yang paling berhak melakukan hadhanah baik masih terikat perkawinan maupun sudah dalam keadaan talak raj’i, talak ba’in, atau telah habis masa ‘iddahnya, tetapi ia belum menikah dengan orang lain. Dan orang yang berhak melakukan hadhanah sebagai berikut :
1) Kerabat dari pihak ibu didahulukan atas kerabat pihak bapak jika tingkatannya dalam kerabat adalah sama.
2) Nenek perempuan didahulukan atas saudara perempuan karena anka merupakan bagian dari kakek, karena itu nenek lebih berhak di banding denga saudara perempuan.
3) Kerabat kandung lebih didahulukan dari kerabat yang bukan sekandung dan kerabat seibu lebih didahulukan atas kerabat seayah.
4) Dasar urutan ini ialah urutan kerabat yang ada hubungan mahram, dengan ketentuan bahwa pada tingkat yang sama pihak ibu didahulukan atas pihak bapak.
5) Apabila kerabat yang ada hubungan mahram tidak ada maka hak hadhanah pindah kepada kerabat yang tidak ada hubungan mahram.
Pemeliharaan anak jika terjadi perceraian maka menurut KHI pasal 105 yaitu:
1. Pemeliharaan anak yang belum mumaiyyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya.
2. Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih diantara ayah dan ibunyasebagai pemegang hak pemeliharaannya;
3. Biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.
C. Syarat-Syarat Bagi Orang Yang Melakukan Hadhanah
Untuk kepentingan anak dan pemeliharaannnya diperlukan beberapa syarat bagi yang melakukan hadhanah, diantarannya sebagai berikut:
1. Yang melakukan hadanah hendaknnya sudah balig brrakal, tidak terganggu ingatannya, sebab hadanah itu merupakan pekerjaan yang penuh tanggung jawab. Oleh karena itu seorang ibu yang mendapat gangguan jiwa atau gangguan ingatan tidak layak melakukan tugas hadanah. Ahmad bin hambal menambahkan agar yang melakukan hadanah tidak mengidap penyakit menular;
2. Mempunyai kemampuan dan kemauaan untuk memelihara dan pendidik anak yang diasuh. Dan tidak terikat dengan suatu pekerjaan yang bisa mengakibatkan tugas hadanah menjadi terlantar;
3. Seorang yang melakukan hadanah hendakah dapat dipercaya memegang amanah, sehingga dengan itu dapat lebih menjamin pemeliharaan anak.
4. Jika yang melakukan hadanah ibu kandung dari anak yang akan diasuh maka disyaratkan tidak menikah dengan lelaki lain.
Akan tatapi menurut ibnu hazmin tidak gugur hak hadonah seorang ibu dengan menikahnya ia denganlaki-laki lain,kecuali suami kedua ini menolaknya.hal ini terjadi pada ummu salamah yang menikah dengan rasulullah, anaknya dengan suami pertama selanjutnya masih tetap dalam asuhannya (HR. Abu Daud)
5. Seseorang yang melakukan hadhanah harus beragama Islam.
Persamaan agama tidak menjadi syarat bagi pemeliharaan anak kecuali jika dikhawatirkan ia akan memalingkan si anak dari agama Islam. Sebab yang penting dalam hadhanah ialah orang yang memelihara mempunyai rasa sayang dan cinta kepada anak serta bersedia memelihara anak sebaik-baiknya.
Jika pendidik dan pemelihara anak itu laki-laki disyaratkan sama agama antara si anak dengan hadhin. Sebab laki-laki yang boleh sebagai hadhin adalah laki-laki yang ada hubungan waris-mewarisi dangn si anak.
Para ulama berbeda pendapat tentang siapa yang berhak terhadap hadhanah, sebagian pengikut mazhab Hanafi berpendapat bahwa hadhanah itu hak anak, sedangkan menurut imam Syafi’I, Ahamad dan sebagian pengikut mazhab Maliki berpendapat bahwa yang berhak terhadap hadanah itu adalah hadhin.
D. Masa Hadanah
Para orang tua dalam mengurusi anaknnya atau masa hadonah ini tidak ada ayat dalam al-qur’an atau hadis yang menerangkan secara tegas. Karena itu para ulama berijtihad sendiri-sendiri dalam menetapkankannya denan pedoman ketetapan yang ada. Dalam UU mesir juga tidak diatur secara tegas, akan tetapi meliaht keadaan kehidupan bapak dan ibunya. Jika bapak dan ibunnya masih terikat dalam perkawinan, maka dianggap tidak ada persoalan hadanah. Persoalan dianggap ada jika terjadi perceraian antara kedua ibu bapaknya dan keduanya berbeda pendapat dalam melaksanakan hadanah. Jika terjadi perbedaan bendapat dalam hadanah maka undang-undang menyerahkannya kepada kebijaksanaan dan keputusan hakim dengan ketentuan bahwa masa hadanah anak minimal tujuh tahun dan maksimal sembilan tahun. Namun demikian diserahkan juga kepada kebijaksanaan hakim dengan pedoman bahwan kemaslahatan anak harus diutamakan.
Mazhab Syafi’i berpendapat bahwa masa hadanah itu berakhir setelah anak mumayyiz, yakni berumur antara lima sampai enam tahun, dengan dasar hadis:
قال رسول الله صلى الله عليه و سلم : خير غلاما بين أبيه و أمه كما خير بنتا بين أبيها و أمها
Rasulullah saw bersabda: anak ditetapkan antara bapak dan ibunya sebagaimana anak (anak yang belum mumayyiz) perempuan ditetapkan antara bapak dan ibunya.
Menurut pendapat mazhab hanafi hadanah anak laki-laki berakhir pada saat anak itu tidak lagi memerlukan penjagaan dan telah dapat mengurus keperluannya sehari-hari, sedangkan masa hadanah bagi wanita berakhir apabila ia telah baligh, atau telah datang masa haid pertamanya. Sedangkan menurut Pengikut pendapat hanafi terakhir ada yang menetapkan bahwa masa hadanah itu berakhir umur 19 tahn bagi laki-laki dan 11 tahun bagi perempuan.
Menurut UU Perkawinan pasal 45:
1. Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya.
2. Kewajiban orang tua yang diamksud ayat (1) pasal ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri. Kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orangtua putus.
Pasal 47:
1. Anak yang belum berumur 18 tahun (delapan belas) tahun ataqu belum pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan orang tuanyaselam mereka tidak dicabut dari kekuasaannya.
2. Orang tua mewakili anak tersebut mengenai perbuatan hukum di dalam dan di luar pengadilan.
E. Tanggung Jawab Terhadap Anak Bila Terjadi Perceraian
Pada dasarnya orang tua bertanggung jawab terhadap pemeliharaan anak-anaknnya baik dalam keadan rukun maupun dalam keadaan sudah bercerai. KHI menjelaskan sebagai berikut. pasal 98 KHI,
(1) Batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 tahun. Sepanjang anak tersebut tidak cacat fisisk maupun mental atau belum pernah melangsungkan perkawinan;
(2) Orang tuannya mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hokum di dalam dan di luar pengadilan;
(3) Pengadilan agama dapat menunjuk salah seorang kerabat terdekat yang mampu menunaikan kewajiban tersebut apabila kedua orang tuannya meninggal.
Dan ini dirumuskan hukum dalam undang-undang perkawinan pasal 41 tentang pemeliharaan anak tersebut berikut ini bunyinya,
Pasal 41 UUP
Akibat putusnya perkawinana karena perceraian ialah
a. Baik ibu atau ayah tetap berkewajiban memlihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak bilamana ada perselidihan mengenai penguasaan anak-anak pengadilan memeberi keputusan.
b. Bapak yang bertanggung jawab atas semua pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu: bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiabn tersebut, mengadilan dapat menentukan bahwqa ibu ikut memikul biaya tersebut;
c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri.
Pada undang-undang perkawinan tersebut, penekatanannya berfokus pada nilai materiil, sedangkan pada pasal 105 Kompilasi Hokum Islam penekanannya meliputi dua aspek yaitu materiil dan non materil, berikut bunyi pasal 105 KHI
Dalam hal terjadinnya perceraian :
a. Pemeliharaan anak yang belum mumaiyyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya.
b. Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih diantara ayah dan ibunyasebagai pemegang hak pemeliharaannya;
c. Biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.
Ketentuan KHI tersebut , tambak bahwa tanggung jawab seiorang ayah kepada anaknnya tidak dapat gugur walaupun ia sudah bercerai dengan istrinya atau ia sudah kawin lagi. Orang tua dapat dicabut atau dialihkan kekuasaannya bila ada alasan-alasan yang menuntut pengadilan tersebut. Hal ini berdasarkan pasal 49 undang-undang perkawinan berikut ini,
(1) Salah seorang atau dua orang tua dapat dicabut kekuasaannya terhadap seorang anak atau lebih untuk waktu tertentu atas permintaan orang tua yang lain, keluarga anak dalam garis lurus ke atas dan suadara kandung yang telah dewasa atau pejabat yang berwenang, dengan keputusan pengadilan dalam hal-hal:
a. Ia sangat melalaikan kewajiban terhadap anaknya;
b. Ia berkelakuan buruk sekali.
(2) Meskipun orang tua dicabut kekuasaannya, mereka masih tetap berkewajiban untuk memberbiaya pemeliharaan kepada anak tersebut.
Pasal 106:
1. Orang tua berkewajiban merawat dan mengembangkan harta anaknya yang belum dewasa atau di bawah pengampuan dan tidak diperbolehkan memindahkan atau menggadaikannya kecuali kerena keperluan yang mendesak jika kepentingan dan kemaslahatan anak itu menghendaki atau suatu kenyataan yang tidak dapat dihindari.
2. Orang itu bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkan karena kesalahan dan kelalaian dari kewajiban tersebut pada ayat (1).
Kalau percerain dilakukan oleh pegawai negeri, orang tua terikat dengan tanggung jawab terhadap anaknya. Hal ini diatur oleh pemerintah melalui surat Edaran Kepala Badan Administrasi Kepegawaian Negara (BAKN) No. 08/SE/1983 pada poin 19 yang menyatakan: Apabila perceraian terjadi atas kehendak negeri sipil pria, maka ia wajib menyerahkan sebagaian gajinya untuk kehidupan bekas istri dan anak-anaknya.





BAB III
KESIMPULAN


DAFTAR PUSTAKA

0 komentar:

Posting Komentar